Salah satu cara menekan kasus minuman keras oplosan yang menggunakan metanol adalah dengan mengendalikan peredaran alkohol industri tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya peredaran minuman keras oplosan yang membahayakan kesehatan hingga menghilangkan nyawa puluhan orang membuat polisi intensif melaksanakan razia minuman keras. Namun, dalam razia yang dilaksanakan itu, barang bukti yang diamankan tidak hanya miras oplosan. Banyak barang bukti disita justru minuman keras yang sudah lazim dikonsumsi masyarakat, seperti anggur merah, anggur putih, whisky, dan berbagai jenis bir.
Di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Selatan, misalnya, sejak miras oplosan menewaskan delapan orang di Kecamatan Jagakarsa, jajaran polsek dan polres gencar melaksanakan razia miras.
Hingga Rabu (18/4/2018), Polsek Tebet masih menggelar razia miras. Razia dilakukan di Jalan Tebet Barat RT 014 RW 001 Nomor 92, Tebet. Razia yang dipimpin Kepala Polsek Tebet Komisaris Maulana J Karepesina dan 10 anggota polsek itu mengamankan barang bukti, antara lain, 11 botol vodka, 65 botol Donald, 50 Mansion House jumbo, 8 bir hitam, 7 bir putih, dan 1 mansion kecil. Barang bukti diamankan dari warung miras milik Kirman (62).
Ahli toksikologi Universitas Indonesia, Budiawan, berpendapat, kasus miras oplosan mencerminkan lemahnya pengawasan peredaran alkohol industri atau metanol. Hal ini ditunjukkan dari hasil tes laboratorium forensik yang dilakukan Polres Metro Jakarta Selatan, yaitu miras oplosan yang dikonsumsi korban tewas mengandung bahan berbahaya metanol.
Metanol selama ini hanya digunakan untuk keperluan industri, seperti pembuatan cat, pelarut, plastik, dan industri lainnya. Meskipun hanya digunakan untuk keperluan industri, metanol relatif mudah didapatkan di pasaran.
Pelaku pengoplos miras di Jagakarsa mengaku mendapatkan metanol atau alkohol 98 persen dengan cara memesan dari pedagang yang ia hubungi melalui telepon.
Alkohol untuk konsumsi ada tersendiri. Alkohol yang ada dalam miras berizin resmi dengan peredaran terbatas yang kini justru banyak dirazia aparat.
Alkohol konsumsi rata-rata merupakan hasil fermentasi, seperti anggur, tape, dan cuka apel. Kandungan alkohol dalam minuman itu biasanya rendah dan masih bisa diolah dengan baik oleh organ tubuh.
Adapun kandungan alkohol dalam metanol bisa mencapai lebih dari 80 persen. Jika dikonsumsi, dampaknya mulai dari menyerang sistem saraf, sistem pencernaan, sistem pernapasan, organ dalam, hingga menyebabkan kebutaan dan kematian.
Kementerian Perdagangan dan Polri diimbau memperketat distribusi alkohol, khususnya metanol, menyusul maraknya penyalahgunaan alkohol jenis itu untuk bahan oplosan.
”Yang bertanggung jawab itu Kementerian Perdagangan. Sudah tugas mereka juga bersama polisi menertibkan penyalahgunaan alkohol untuk miras oplosan,” ujar pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo.
Imbauan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin agar pengoplos dan pengedar miras oplosan dihukum berat, termasuk menjeratnya dengan pasal pembunuhan berencana, ada baiknya ditindaklanjuti dengan tegas hingga tingkat polda, polres, dan polsek.
Sinergi
”Pemerintah seharusnya bersinergi untuk memperketat peredaran metanol. Hanya pembeli yang mengantongi surat keterangan yang bisa membeli metanol,” ucap Budiawan.
Izin perdagangannya ada di Kementerian Perdagangan, izin industri di Kementerian Perindustrian, dan merek serta daftar produknya diawasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, pemerintah didorong gencar mengedukasi masyarakat tentang bahaya metanol.
Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Vivick Tjangkung mengatakan, razia polisi sebenarnya difokuskan pada miras oplosan. Namun, barang bukti lain, seperti miras, biasa ikut diamankan sebagai langkah antisipasi.
Polisi khawatir miras itu digunakan untuk bahan racikan miras oplosan. Yang dirazia pun kebanyakan toko jamu dan kelontong yang tidak punya izin untuk menjual minuman beralkohol.