Ketua DPR: Pelaku Politik Uang Pasti Gunakan Uang Tunai
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan secara tunai akan meningkat. Hal itu menjadi salah satu tanda praktik politik uang menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 masih merajalela. Oleh karena itu, perlu strategi khusus untuk membatasi transaksi keuangan secara tunai.
Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam Diseminasi Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal di Jakarta, Rabu (18/4/2018), mengatakan, politik uang menjelang pilkada dan pilpres terjadi dalam beberapa tahap, mulai dari awal pencalonan, kampanye, hingga hari-H pemilihan.
Ia mencontohkan, di tingkat daerah, politik uang terjadi sejak awal calon kepala daerah mengajukan diri untuk menjadi calon dari salah satu partai politik. Mereka harus membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan dari parpol.
”Biayanya itu tidak pernah di bawah Rp 1 miliar, ada yang Rp 5 miliar, bahkan ratusan miliar,” kata Bambang. ”Biasanya pula tidak ada yang berani bertransaksi secara nontunai, pasti tunai, menggunakan uang asing agar lebih tipis,” kata Bambang.
Setelah itu, calon kepala daerah masih akan melakukan politik uang ketika kampanye dan hari-H pilkada. Dalam dua agenda tersebut, mereka kerap menggunakan uang pecahan Rp 10.000, Rp 20.000, dan Rp 50.000. Untuk tingkat bupati atau wali kota, mereka menyiapkan sekitar 1 juta hingga 2 juta amplop berisi uang tersebut untuk dibagikan.
”Pada pilpres jarang terjadi politik uang karena biasanya partai yang memilih calonnya,” kata Bambang.
Mantan Ketua PPATK Yunus Husein mengatakan, pada tahun politik, frekuensi dan volume transaksi keuangan cenderung meningkat. Tingginya aktivitas keuangan, terutama secara tunai, kerap dilakukan oleh para peserta pilkada dan pemilu untuk mempraktikkan politik uang.
”Pada tahun politik, mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon anggota legislatif membutuhkan banyak uang tunai untuk diberikan selama kampanye. Mereka tidak mungkin menggunakan sistem perbankan karena bisa terdeteksi,” ujar Yunus.
Pada tahun politik, mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon anggota legislatif membutuhkan banyak uang tunai untuk diberikan selama kampanye. Mereka tidak mungkin menggunakan sistem perbankan karena bisa terdeteksi.
Berdasarkan statistik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Januari 2018, jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) sebanyak 5.279 laporan. Rata-rata pelaporan per hari mencapai 264 laporan. Jumlah LTKM pada Januari 2018 itu naik 26 persen dibandingkan Desember 2017 dan naik 10,1 persen dibandingkan Januari 2017.
Sebanyak 5.279 laporan pada Januari 2018 berasal dari 177 pelapor yang terdiri dari 88 bank dan 89 institusi nonbank. Adapun 88 bank tersebut melaporkan 2.650 LTKM, sedangkan ke-89 institusi nonbank melaporkan 2.629 LTKM.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi pengguna jasa. Transaksi keuangan mencurigakan tersebut menggunakan harta atau kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Selain transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) juga naik. Pada Januari 2018, jumlah LTKT sebanyak 295.623 laporan dengan rata-rata pelaporan sebanyak 14.781 per hari. Jumlah LTKT pada Januari 2018 meningkat 15,5 persen dibandingkan Desember 2017 dan meningkat 15 persen dibandingkan Januari 2017.
Menurut Yunus, kebutuhan uang yang tinggi di tahun politik memunculkan modus lain yang perlu diwaspadai. Yunus menjelaskan, untuk mendapatkan ongkos politik kerap pula terjadi kasus pembobolan bank dan kredit macet.
Selain itu, bank juga rentan dimanfaatkan dengan modus menjadikannya sebagai sponsor kegiatan politik praktis. ”Oleh karena itu, di tahun politik ini bank harus berhati-hati dan tetap independen,” ujar Yunus.
Pembatasan transaksi tunai
Untuk mengurangi praktik politik uang, menurut Yunus, jumlah transaksi uang tunai perlu dibatasi. Ia yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK) berharap rancangan tersebut segera diserahkan oleh pemerintah untuk dibahas Komisi III DPR.
Untuk mengurangi praktik politik uang, jumlah transaksi uang tunai perlu dibatasi.
Dalam draf RUU PTUK disebutkan bahwa batas nilai akumulasi transaksi tunai di sistem perbankan selama satu hari adalah Rp 100 juta. Transaksi meliputi penarikan, pencairan, pembelian, pembayaran, pemberian, dan penjualan menggunakan uang kertas dan logam, baik pecahan rupiah maupun mata uang asing. Batas nilai tersebut masih bisa berubah seiring dengan pembahasan yang belum usai.
Namun, tidak semua transaksi dengan nilai di atas Rp 100 juta dilarang. Terdapat beberapa pengecualian, antara lain transaksi yang dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan (PJK) dengan pemerintah dan bank sentral, penarikan uang tunai untuk pembaaran gaji, pembayaran pajak, pelaksanaan putusan pengadilan, biaya pengobatan, dan penanggulangan bencana alam.
”Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif dan perdata, yaitu batal demi hukum suatu perjanjian,” kata Yunus. Sanksi ini berlaku baik untuk pelanggar indvidu, korporasi, maupun pejabat negara.
Menurut dia, penerapan pembatasan transaksi tunai mampu meningkatkan efisiensi perbankan. Seluruh transaksi berlangsung secara cepat, mudah, dan lebih murah. Selain itu, pembatasan transaksi tunai secara tidak langsung juga akan mengurangi biaya produksi pencetakan uang kertas dan logam.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Maryono mengatakan, pembatasan tersebut juga sejalan dengan arah sistem perbankan menuju ke sistem perbankan digital (digital banking).
Maryono yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menambahkan, dengan memanfaatkan sistem digital, jumlah transaksi uang tunai di BTN telah menurun sejak 2016.
”Jumlah transaksi, khususnya penarikan tunai di atas Rp 100 juta, telah berkurang sebanyak 30 persen sejak 2016, 2017, dan memasuki 2018. Sebelum 2016, jumlah penarikan tunai di atas Rp 100 juta itu banyak,” katanya.
Maryono menambahkan, BTN juga telah mengarah ke transformasi digital dengan membuat perubahan mendasar dalam hal proses bisnis. BTN telah membuat beberapa sistem, antara lain peminjaman elektronik (electronic loan), pengadaan elektronik (electronic procurement), dan audit elektronik (electronic audit). Selain itu, BTN juga membuat produk layanan dalam jaringan (daring) untuk sistem pembayaran.
Chief Operating Officer Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, sebagai perusahaan rintisan teknologi keuangan (tekfin) yang menjadi salah satu penyedia jasa keuangan, saat ini seluruh transaksi peminjaman dan investasi di Modalku dilakukan secara nontunai. Menurut dia, belum ada kemungkinan bagi tekfin untuk menyediakan layanan transaksi menggunakan uang tunai.
Kami justru mendapatkan keuntungan yang luar biasa dengan transaksi perbankan secara nontunai, mulai dari terhindar dari pencucian uang, keamanan dalam pengiriman, hingga minimnya risiko operasional.
”Kami justru mendapatkan keuntungan yang luar biasa dengan transaksi perbankan secara nontunai, mulai dari terhindar dari pencucian uang, keamanan dalam pengiriman, hingga minimnya risiko operasional,” kata Iwan. Tanpa memikirkan risiko-risiko yang timbul dari transaksi secara tunai, perusahaan bisa lebih fokus pada pengembangan produk.