JAKARTA, KOMPAS — Korporasi terbukti belum mampu memberikan perlindungan hak asasi manusia. Kebijakan pemerintah belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang terdampak dari dunia usaha.
Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2016, korporasi berada pada urutan kedua pihak yang paling banyak diadukan dengan jumlah 1.030. Pada urutan pertama terdapat kepolisian dan ketiga ada pemerintah daerah.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid, mengatakan, korporasi berperan besar dalam kerusakan lingkungan hidup dan menyebabkan krisis kemanusiaan.
Ironisnya, negara lemah ketika berhadapan dengan korporasi.
”Ironisnya, negara lemah ketika berhadapan dengan korporasi,” kata Khalisah dalam Peluncuran Kertas Kebijakan Menuju Implementasi Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM di Indonesia, Kamis (19/4/2018), di Jakarta.
Ia mencontohkan kasus petani di Rembang, Jawa Tengah, yang menolak pendirian pabrik semen. Pada kasus tersebut, korporasi dan pemerintah membuat kebijakan yang merugikan lingkungan serta masyarakat sekitar.
Khalisah juga menyoroti industri sawit di Indonesia yang hanya menjadi penghasil bahan mentah dan belum mampu menghasilkan bahan olahan. Dampak dari industri sawit telah mengakibatkan bencana ekologis yang dapat menyebabkan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan terjadinya tindakan kekerasan terhadap warga lokal.
Menurut Khalisah, negara belum hadir dalam permasalahan HAM di Indonesia. ”Hanya polisi dan militer yang hadir dengan tindakan kekerasan,” ujarnya.
Kebijakan nasional
Menanggapi situasi tersebut, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah masih memproses penyusunan kebijakan nasional sesuai dengan panduan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ifdhal mengatakan, semua pemangku kebijakan perlu bekerja sama merumuskan kebijakan nasional. Kebijakan tersebut akan digunakan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM).
Salah satu bahan yang akan digunakan dalam penyusunan RANHAM, yaitu Prinsip-prinsip Panduan tentang Bisnis dan HAM atau The United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang dibentuk oleh PBB pada 2011.
UNGPs memiliki tiga pilar, yaitu kewajiban negara melindungi dan tanggung jawab dunia usaha menghormati HAM, serta hak masyarakat terdampak untuk mendapatkan pemulihan akibat sebuah kegiatan bisnis.
President Indonesia Global Compact Network (IGCN) Junardy mengatakan, kerja sama antarpemangku kebijakan dibutuhkan agar dapat menghasilkan kebijakan yang adil. Ia menegaskan, bisnis dan HAM harus berjalan secara seimbang. ”Setiap pelaku bisnis ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi ia juga harus memperhatikan dampak kemanusiaan,” kata Junardy.
UNGPs
Member UN Working Group on Business and Human Rights, Surya Deva, menjelaskan, UNGPs berlaku untuk semua sektor bisnis. ”UNGPs dapat diimplementasikan sesuai dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan situasi setiap negara,” kata Surya.
Surya mengatakan, UNGPs dapat dipraktikkan secara transparan. Sebagai contoh, Thailand dan Malaysia telah menerapkan prinsip yang ada pada UNGPs ke dalam kebijakan nasional.
UNGPs dapat diimplementasikan pada aturan rencana aksi nasional dengan melihat konteks yang ada pada sebuah negara. Surya menegaskan, pemerintah dan pelaku usaha harus menjalankan rencana aksi nasional karena akan berpengaruh secara signifikan.
”Rencana aksi nasional tidak membatasi pemerintah dan pelaku usaha, tetapi akan manjadi jalan menuju kemajuan sebuah negara,” tutur Surya.