Perempuan Pegang Kendali Kereta
Dunia perkeretaapian kerap diidentikkan dengan dunia yang maskulin. Namun, seiring perkembangan waktu dan teknologi, perempuan pun banyak yang menempati posisi penting di perkeretaapian ini. Salah satunya menjadi pemimpin perjalanan kereta alias masinis.
PT MRT Jakarta yang bakal menjadi operator kereta massal cepat MRT, merekrut enam perempuan sebagai masinis, dari total 41 masinis yang direkrut di tahap awal.
“Kami tidak membatasi di angka enam itu, karena sebanyak itulah perempuan masinis yang terpilih dalam proses perekrutan yang dimulai awal 2017 lalu,” terang Kepala Divisi Railway Operation PT MRT Jakarta, Mega Tarigan, Rabu (18/4/2018).
Dari segi regulasi, sesuai Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2007, perempuan diperbolehkan jadi masinis, asal memenuhi syarat sebagai masinis. Persyaratan yang berlaku untuk pria-wanita itu di antaranya bertinggi badan 160 cm serta lulus psikotes.
“Kami menerapkan standard army alfa dimana ketelitian, ketepatan waktu, hingga kedisiplinan terukur dalam tes itu. Khusus masinis harus lulus tes itu. Ketika sudah lolos dari tes itu, tidak peduli pria atau wanita, yang penting capable,” ujar Mega.
Begitu terpilih, semua masinis mendapat pelajaran di kelas terkait teknologi yang dipergunakan di MRT. Para masinis juga dikirim ke Prasarana Malaysia yang mengoperasikan LRT dengan teknologi yang mirip dengan yang dipergunakan MRT. Kesamaan itu khususnya dari sisi persinyalan yang menggunakan teknologi communication-based train control (CBTC).
Belajar di Malaysia menambah wawasan dan meningkatkan keahlian para masinis. “Saat di sekolah, di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), saya sudah belajar tentang teori dan praktik mengemudikan kereta. Apa yang saya pelajari mewujud saat saya diterima bekerja di MRT Jakarta, September 2017,” ujar Nidya Laras (23), seorang perempuan masinis di MRT.
Laras mengaku mesti menyesuaikan diri dan ketrampilannya dengan kereta yang akan ia kendalikan.
Ternyata, meski sudah belajar teori dan praktik langsung di Ampang Line, Malaysia, tetap saja ada rasa deg-degan. “Saat kondisi normal, saya santai saja membawa keretanya. Tapi begitu ada problem dengan operasional, saya deg-degan juga,” terang Indri Yulia Erlanita, perempuan masinis yang sejak awal punya ketertarikan pada transportasi darat itu.
Perasaan deg-degan itu, lanjut Indri, muncul saat kondisi darurat seperti komunikasi dengan ruang kendali yang mendadak hilang. Juga bila sinyal untuk mengetahui posisi kereta mendadak hilang. Saat itu, lanjut Indri, masinis mesti bisa mengatasi situasi itu.
Saat kondisi darurat, masinis—tak peduli pria atau wanita—harus bisa menghentikan laju kereta, membuka pintu darurat, mengangkat tangga darurat, dan membantu penumpang keluar dari kereta.
“Saya dan perempuan masinis yang berlatih di sana juga harus bisa menghadapi situasi darurat dengan menolong penumpang. Di antaranya dengan mengangkat tangga darurat seberat 40 kg supaya penumpang bisa keluar,” terang Indri yang kelahiran Lampung Timur itu.
Di MRT Jakarta, tangga darurat beratnya 12–13 kg. "Namun itu tidak berarti kerja di MRT Jakarta lebih ringan. Justru mesti bisa bertanggung jawab dengan pelayanan karena sama-sama berat,” ujar Tiara Alincia Fitri (21), masinis termuda lulusan Akademi Perkeretaapian Indnesia (API) Madiun.
Tiara mengatakan, ia awalnya mendaftar sebagai staf stasiun. "Tetapi diterima sebagai masinis. Sempat grogi juga, namun kalau MRT Jakarta percaya saya bisa, maka saya harus percaya saya mampu,” ujarnya.
Selain itu, imbuh Laras, kunci menjadi masinis adalah cara berpikir yaitu baik perempuan ataupun laki-laki bisa melakukan pekerjaan itu. “Di Malaysia tempat kami berlatih, perempuan masinis juga banyak,” ujar Laras optimistis.
Agung Wicaksono, Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, menambahkan, selain sebagai masinis, perempuan yang lolos seleksi juga ada di divisi perawatan kereta, divisi pemeliharaan jalur rel, divisi persinyalan dan telekomunikasi, divisi listrik aliran atas, hingga divisi pelayanan. Total, sekitar 30 persen perempuan bekerja di PT MRT Jakarta.
Terpisah, Direktur Akademi Perkeretaapian Indonesia (API) Dedy Cahyadi mengatakan, jumlah perempuan yang menjadi mahasiswa API sekitar 30 persen dari total 382 mahasiswa API.
"Mereka mendapatkan kurikulum dan perlakuan yang sama antara taruna dan taruni (sebutan untuk mahasiswa di API)," kata Dedy.
Lulusan API pun telah terserap ke sejumlah perusahaan bidang perkeretaapian di Indonesia, termasuk para perempuan yang menjadi masinis.