Perkuat Ketahanan Fiskal
WASHINGTON DC, KOMPAS — Ketahanan fiskal mesti diperkuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah. Cara yang bisa dilakukan di antaranya dengan mengurangi menjaga utang pada kondisi yang aman sehingga bisa menciptakan ruang untuk mendukung fiskal pada saat kondisi keuangan mengetat secara tiba-tiba.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah mereformasi fiskal secara struktural sehingga bisa mendukung potensi pertumbuhan ekonomi. Caranya, dengan meningkatkan modal fisik dan sumber daya manusia serta meningkatkan produktivitas.
Pesan itu disampaikan pada paparan Fiscal Monitor: Capitalizing on Good Times dalam konferensi pers Dana Moneter Internasional-Bank Dunia Spring Meetings 2018 di Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (18/4/2018).
Vitor Gaspar, Direktur Departemen Fiskal Dana Moneter Internasional (IMF), dalam jumpa pers mengatakan, nilai utang ini merupakan rekor tertinggi selama ini. ”Sebagian besar utang dilakukan oleh negara-negara maju,” katanya.
Namun, kata Vitor, IMF memperkirakan, nilai utang itu akan berkurang dalam lima tahun mendatang. Pengurangan nilai utang pada periode 2018-2023 diproyeksikan terjadi pada hampir seluruh negara maju, dua pertiga negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, dan tiga perlima negara-negara berkembang.
Menurut Vitor, sekarang merupakan saat yang tepat untuk membangun kembali ketahanan fiskal. ”Untuk berjaga-jaga menghadapi kondisi berat yang mungkin tiba nantinya,” ujarnya.
Pesan tersebut terkait dengan kondisi utang negara-negara di dunia, yang saat ini mendapat perhatian IMF. Utang global mencatatkan rekor tertinggi pada 2016 sebesar 164 triliun dollar AS atau setara dengan 225 persen dari produk domestik bruto (PDB) global.
Negara-negara maju mencatatkan utang sekitar 105 persen PDB. Rasio ini merupakan titik tertinggi sejak masa Perang Dunia II yang mencapai lebih dari 120 persen PDB. Pada 2017, lebih dari sepertiga negara-negara maju memiliki utang di atas 85 persen PDB.
Adapun rasio utang negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging market) dan negara-negara dengan pendapatan menengah sekitar 50 persen terhadap PDB pada 2017. Level yang hanya pernah terjadi pada masa krisis utang pada 1980-an ini diperkirakan terus meningkat. Sekitar seperlima negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan negara-negara berpendapatan menengah memiliki rasio utang terhadap PDB di atas 70 persen pada 2017.
Sementara untuk negara-negara berkembang dengan pendapatan rendah-menengah, rata-rata rasio utang terhadap PDB sebesar 40 persen pada 2017. Rasio ini meningkat 10 persen sejak 2012 dan diperkirakan tidak akan turun dalam jangka menengah.
Laporan IMF tentang Fiscal Monitor itu menyebutkan, ketahanan fiskal mesti dibangun, antara lain karena utang pemerintah yang besar dapat membuat suatu negara berada dalam kondisi rentan dalam menghadapi risiko. Sebab, pembiayaan yang dibutuhkan sangat besar, terutama jika jatuh tempo utang tersebut singkat.
Dalam paparan itu juga disebutkan tentang digitalisasi yang memberikan kemungkinan lebih besar dalam memperbaiki kondisi fiskal. IMF menyebutkan, digitalisasi bisa mengurangi biaya swasta dan masyarakat dalam perpajakan sehingga meningkatkan efisiensi.
Indonesia
Secara keseluruhan, rata-rata defisit fiskal negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan negara-negara berpendapatan menengah membaik secara marjinal pada 2017. Setelah konsisten meningkat dalam selama empat tahun, akhirnya defisit fiskal berkurang pada 2017. Pada 2016, defisit fiskal sekitar 4,8 persen PDB, sedangkan pada 2017 sebesar 4,4 persen PDB.
Indonesia, sebagai salah satu dari kelompok negara berpendapatan menengah dan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, diperkirakan mencatatkan defisit anggaran sebesar 2,5 persen pada tahun ini. IMF juga memproyeksikan angka yang sama untuk defisit anggaran RI pada 2019.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono berpendapat, kenaikan utang memang tidak terhindarkan. Bagi negara-negara maju, utang dibutuhkan untuk menstimulasi perekonomian. ”Misalnya, AS yang mengalami krisis akibat kredit properti pada 2008-2009 mesti menaikkan defisit fiskal untuk meningkatkan permintaan dan PDB. Setelah hal itu dilakukan, perekonomian AS terbukti pulih dan saat ini sedang bagus,” kata Tony.
Terkait Indonesia, utang meningkat menjadi lebih dari Rp 4.000 triliun. Jumlah itu setara dengan 29 persen PDB sehingga dinilai masih aman. Namun, Tony mengingatkan, utang tetep mesti diwaspadai. Sebab, rasio utang terhadap pendapatan (debt service ratio/DSR) sudah mencapai 34 persen.
”Kalau mau aman, kita harus berupaya mendorong ekspor agar DSR bisa dijaga pada tingkat yang aman, misalnya kisaran 25-30 persen,” ujar Tony.
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri RI per akhir Februari 2018 sebesar 356,2 miliar dollar AS atau tumbuh 9,5 persen dalam setahun. Dengan nilai tukar Rp 13.770 per dollar AS pada Rabu (18/4/2018), utang tersebut setara dengan Rp 4.900 triliun. Jumlah ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 181,4 miliar dollar AS dan utang swasta sebesar 174,8 miliar dollar AS.
Ditanya mengenai cara terbaik menjaga kondisi fiskal RI, Tony menjawab, caranya dengan memperkuat penerimaan pajak. Rasio pajak mesti ditingkatkan dari kondisi saat ini yang sebesar 10 persen meskipun cara itu membutuhan waktu karena tidak bisa tercapai seketika. Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB.