JAKARTA, KOMPAS — Pidana alternatif selain pidana penjara kian mendesak untuk direalisasikan. Saat ini, penegak hukum di Indonesia dinilai masih berorientasi memenjarakan setiap pelanggar hukum. Padahal, kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tanahan negara sudah sangat membeludak dengan tingkat kelebihan penghuni mencapai 100 persen secara nasional.
Sistem database pemasyarakatan pada 2018 mencatat jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni lapas dan rutan saat ini berjumlah 246.389 orang. Sementara, kapasitas lapas dan rutan seluruh Indonesia idealnya hanya mampu menampung 123.025 tahanan.
Ini persoalan yang serius. Jika dibiarkan, ke depan kondisi ini bisa jadi bom waktu yang bisa meledak di lembaga pemasyarakatan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat membuka seminar nasional Pembimbing Kemasyarakatan dan Pidana Alternatif di Jakarta, Kamis (19/4/2018), mengatakan, alternatif pemidanaan selain penjara menjadi paradigma baru yang harus dilakukan untuk menangani permasalahan tersebut.
”Jadi, kondisi (lapas dan rutan) saat ini sudah sangat membeludak. Belum lagi rata-rata penambahan narapidana per bulan itu 2.000 orang. Ini persoalan yang serius. Jika dibiarkan, ke depan kondisi ini bisa jadi bom waktu yang bisa meledak di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Mardjoeki menilai, kelebihan kapasitas di lapas dan rutan ini menimbulkan berbagai dampak buruk.
Dampak tersebut seperti terganggunya kondisi psikologis narapidana dan tahanan, sanitasi lapas dan rutan yang buruk sehingga kesehatan penghuni tidak terjaga, peluang gangguan keamanan dan ketertiban meningkat, serta terganggunya fungsi pembinanan.
Kelebihan kapasitas di lapas dan rutan ini menimbulkan berbagai dampak buruk. Dampak tersebut seperti terganggunya kondisi psikologis narapidana dan tahanan, sanitasi lapas dan rutan yang buruk sehingga kesehatan penghuni tidak terjaga.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mendefinisikan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat melaksanakan pembinaan narapidana. Tujuannya untuk membimbing penghuni lapas agar menyadari perbuatannya, bisa kembali ke masyarakat, serta bisa menjadi sosok yang lebih bermanfaat bagi kemaslahatan umum setelah keluar dari lapas.
Mardjoeki mengakui, dengan kondisi lapas dengan kapasitas yang berlebihan saat ini membuat pembinaan narapidana belum sepenuhnya sesuai amanat undang-undang tersebut. ”Alternatif penanganan narapidana menjadi mendesak dilakukan,” ujarnya.
Ia menuturkan, ada beberapa pilihan alternatif penanganan, antara lain penataan regulasi terkait pidana alternatif selain penjara seperti tahanan rumah ataupun tahanan kota; rehabilitasi pengguna narkoba; pembangunan infrastruktur baru; penataan kelembagaan; pemenuhan sarana dan prasarana berbasis teknologi informasi.
Selain itu, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan penguatan sumber daya manusia, optimalisasi bersyarat, remisi melalui layanan daring, dan optimalisasi pembinaan integrasi sosial melalui open camp.
Alternatif pidana
Pidana alternatif selain pidana penjara terus didorong dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini dalam pembahasan DPR. Kebijakan kriminal di Indonesia dalam RKUHP coba mengurangi penggunaan penjara dengan pidana alternatif selain penjara, seperti pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih menyampaikan, pertimbangan bagi pelanggar hukum untuk tidak dijatuhi pidana penjara adalah pada terdakwa yang berusia 18 tahun ataupun di atas 75 tahun.
Pertimbangan lain yaitu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian besar, tindak pidana terjadi karena hasutan kuat dari orang lain, serta pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, pidana penjara akan lebih diberikan bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, diancam dengan pidana minimum khusus, ataupun tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan, merugikan masyarakat, dan merugikan keuangan atau perekonomian negara.
”Rencananya, RKUHP ini akan disahkan pada Agustus 2018,” katanya.