Setelah Bekas Teroris Meminta Maaf kepada Para Korban Pengeboman
Oleh
DD09
·4 menit baca
"Saya minta maaf kepada semua orang, khususnya pada Nanda (korban), atas kejadian yang dilakukan oleh saya dan saudara-saudara saya. Secara fisik para korban ini menderita, juga secara psikologi," tutur Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku terorisme. Sebelum 2004, dia berperan dalam perakitan bom. Kini dia telah menjadi Direktur Lingkar Perdamaian.
Ungkapan permohonan maaf itu disampaikan Ali di hadapan sekitar 30 orang peserta bedah buku \'Jangan Putus Asa, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya\' karya Hasibullah Satrawi di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (19/4/2018). Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo, Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI Solahudin, dan Pakar Hubungan Internasional UI Shofwan Al Banna Choiruzzad turut mendengarkannya.
Dulu Ali tak sekadar perakit bom. Dia adalah adik kandung dari Amrozi, pelaku bom Bali. Azhari dan Noordin M Top juga berkawan dengannya. Bahkan, dia mengatakan pernah bertetangga dengan Imam Samudra.
Perubahan dalam diri Ali berawal dari saat dia dideportasi dari Filipina ke Indonesia. Sebelumnya, pada 2004 dia ditangkap dan dipenjara di distrik Cotabato.
Sesampainya di tanah air, dia menjalani perawatan di rumah sakit selama 22 hari karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Fasilitas tersebut datang dari Kepolisian Negara RI (Polri).
Selama masa penahanan, Ali bercerita, sejumlah polisi mengajaknya berjalan-jalan. "Dulu saya punya pemahaman, polisi itu kejam, jahat, dan diperangi. Namun, setelah dibantu dan ditemani mereka, ternyata mereka bersahabat," katanya.
Dulu saya punya pemahaman, polisi itu kejam, jahat, dan diperangi. Namun, setelah dibantu dan ditemani mereka, ternyata mereka bersahabat
Selepas dari penjara, Ali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Perjalanan pendidikan ini turut membuka pandangannya.
Pada enam bulan pertama berkuliah, dia mendebat sejumlah profesor, terutama jika menyinggung paham yang dipegangnya. "Profesor-profesor itu berasal dari Amerika dan Australia, negara-negara itu yang dulu saya musuhi," ucapnya.
Lambat-laun, Ali mulai terbuka pada pandangan yang berbeda. Hingga saat ini, dia berorientasi pada nilai-nilai kedamaian.
Titik balik
Ketika Ali menemui korban bom aksi terorisme, dia merasakan puncak titik balik perubahan dirinya. Salah satu yang dia kunjungi adalah Max Boon, warga negara Belanda yang kehilangan kedua kakinya.
Saya menangis hingga dua jam di sana. Kalau saya di posisi Max, belum tentu saya dapat menerima kondisi itu
Ali merasa hatinya seperti teriris saat mendengar Max telah memaafkannya. "Saya menangis hingga dua jam di sana. Kalau saya di posisi Max, belum tentu saya dapat menerima kondisi itu," ujarnya.
Rasa sesal semakin mendalam ketika Ali menemui puluhan korban bom aksi terorisme yang tinggal di Klaten. Dia mengatakan, korban-korban di sana ada yang cacat fisik seumur hidup dan kehilangan penglihatannya.
Melihat kondisi itu, Ali menuturkan refleksinya, "Mereka adalah korban dari bom yang dulu saya bangga-banggakan. Namun, mereka begitu legowo memaafkan saya. Saya terngiang-ngiang pada keikhlasan mereka. Momen ini adalah 100 persen titik balik saya."
Keikhlasan para korban untuk memaafkannya mendorong Ali membentuk Lingkar Perdamaian. Dia mengajak 38 mantan pelaku terorisme untuk bergabung dalam gerakan tersebut.
Mereka adalah korban dari bom yang dulu saya bangga-banggakan. Namun, mereka begitu legowo memaafkan saya. Saya terngiang-ngiang pada keikhlasan mereka. Momen ini adalah 100 persen titik balik saya
Butuh waktu
Di sisi lain, korban membutuhkan waktu untuk memaafkan pelaku aksi terorisme. Salah satunya ialah Nanda Olivia Daniel, korban bom Kuningan pada 2004.
Untuk pertama kalinya, Nanda bertemu dengan Ali pada Maret 2015. Saat itu, keduanya mengikuti acara yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (Aida).
Pada hari pertama pertemuan, Nanda menyampaikan keluh-kesahnya pada Ali, "Saya bilang terus terang pada Ali, \'Apakah Anda pernah membayangkan perasaan keluarga terdekat Anda kalau Anda menjadi korban bom?\' Tapi, Ali diam."
Emosi yang tercurah pada Ali bukan karena luka fisik yang Nanda derita. Dia terkenang Mutia, siswi Sekolah Menengah Atas yang meninggal saat menjalani perawatan di rumah sakit akibat peristiwa bom yang sama.
Nanda pernah berkenalan dengan Mutia dan ibunya di rumah sakit di Jakarta. Ketika Nanda mendengar Mutia meninggal, dia menangis sejadi-jadinya. "Saya menangis hingga meraung-raung. Saya membayangkan perasaan seorang ibu yang kehilangan putrinya," katanya terbata-bata sambil terisak.
Selama acara yang berlangsung sekitar delapan hari itu, Nanda tidak menanggapi kehadiran Ali. Dia juga membuang muka pada Ali.
Selama enam bulan setelah kegiatan itu, Nanda merenung. "Saya sampai pada titik kesimpulan, kemarahan pada Ali hanya menyiksa diri saya sendiri. Toh, kejadian itu sudah berlalu. Saya harap, dengan saya memaafkan Ali, hati saya menjadi lebih tenang. Rasanya, jika saya membalas Ali dengan kekerasan yang sama, dunia akan semakin carut-marut dan semakin banyak orang yang batinnya tersiksa."
Setelah Nanda memaafkan Ali, Nanda mulai bertegur sapa dengannya. Nanda juga merasa semakin terbuka untuk berbincang-bincang dengan Ali.
Pondasi perdamaian
Dinamika interaksi antara korban dan mantan pelaku aksi terorisme diabadikan Hasibullah lewat bukunya. "Pengampunan di antara kedua belah pihak adalah dinamika yang di atas normal manusia biasa," ujarnya.
Imam mengapresiasi karya Hasibullah sebagai bentuk perjuangan untuk merekatkan Indonesia. Sementara itu, Shofwan mengganggap kisah individu antara korban dan mantan pelaku yang didokumentasikan ini dapat menjadi referensi dasar perdamaian internasional.
Tawa dan senyum keduanya membuktikan pengampunan menjadi salah satu kunci perdamaian
Sesudah bedah buku ditutup, Ali, Hasibullah, dan Nanda duduk lesehan sambil menyantap makan siang. Sesekali Nanda dan Ali saling bergurau. Tawa dan senyum keduanya membuktikan pengampunan menjadi salah satu kunci perdamaian. (DD09)