JAKARTA, KOMPAS Pengadilan membatalkan status justice collaborator atau pelaku yang mau bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan, yang diberikan Komisi Pemberantasan Korupsi ke dua terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Alasannya, mereka pelaku utama,
Dua orang yang dicabut status justice collaborator adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Penduduk Kemendagri Sugiharto. Status justice collaborator mereka, dicabut oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menyinggung status justice collaborator untuk terdakwa KTP-el lainnya, yaitu pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kamis (19/4/2018) di Gedung KPK Jakarta menyampaikan menghormati putusan pengadilan tersebut. KPK mengabulkan status justice collaborator untuk mereka, karena ketiganya sangat berkontribusi mengungkap pelaku lain yang lebih besar dalam perkara KTP-el.
“Kami pahami dan harapkan, semua pihak memiliki pemahaman yang sama bahwa ketika seseorang menjadi justice collaborator, maka fasilitas keringanan tuntutan serta hukuman sebagai hak narapidana dapat diberikan,” kata Laode.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Lili Pintauli menyampaikan, ada sejumlah aturan yang mengatur mengenai justice collaborator. Salah satunya, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 disebutkan, justice collaborator diberikan ke pelaku tindak kejahatan yang bukan pelaku utama.
“Secara umum, pedoman dalam SEMA menjadi rujukan bagi majelis hakim. Hal yang juga perlu diingat, masalah justice collaborator ini bisa berdampak panjang. Ke depan, para pelaku kejahatan bisa berpikir ulang untuk kooperatif jika informasi yang sudah mereka berikan tidak jadi pertimbangan dalam putusan hakim," katanya.
Skenario
Dokter Bimanesh Sutarjo menuturkan, Freidrich Yunadi mengetahui skenario kecelakaan terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto yang terjadi di kawasan Permata Hijau, Jakarta pada 16 November 2017 tersebut. Hal ini disampaikan Bimanesh saat menjadi saksi dalam persidangan perkara merintangi pengusutan kasus dengan terdakwa Freidrich Yunadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin.
Dalam persidangan yang dipimpin Syaifuddin Zuhri ini, Bimanesh mengaku kebingungan saat Yunadi menelponnya dan menyebut skenario kecelakaan. Pasalnya, sekitar pukul 11.00 WIB pada 16 November 2017, Yunadi hanya meminta tolong dirinya agar bisa merawat Novanto yang menderita hipertensi dengan keluhan kerap pusing. Untuk itu, Bimanesh tidak keberatan dan meminta Yunadi menyertakan laporan medik Novanto dari rumah sakit sebelumnya sebagai rujukan.
“Apakah sempat saudara tanya ke terdakwa mengapa tidak periksa ke premier (rumah sakit sebelumnya)?” tanya Syaifuddin.
“Saya enggak menanyakan pak, karena itu kan masalah hipertensi. Dugaan saya merujuk ke saya karena berkaitan dengan keluhannya karena saya kan ahli dalam hal tersebut,” jawab Bimanesh.
Kemudian Bimanesh melanjutkan kesaksiannya. “Tapi sekitar pukul 17.00, saya tidur setelah selesai ketemu terdakwa. Ketika hampir maghrib saya terbangun karena telepon dari terdakwa. Terdakwa mengatakan, “Dok, skenarionya kecelakaan.” Saya berpikir kan janggal, skenario apa ini. Kecelakaan pasien kah, dianya atau gimana. Kan awalnya mau dirawat karena hipertensi tapi kok sekarang kecelakaan. Saya coba hubungi sekali telponnya sudah mati,” jelasnya.
Tidak lama kemudian, dokter di bidang pelayanan medis Rumah Sakit Medika Permata Hijau Alia menelpon Bimanesh menyebutkan Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah sakit Medika Permata Hijau Michael Chia Cahaya tidak bersedia memeriksa Novanto.