JAKARTA, KOMPAS - Banyaknya korban tewas akibat miras oplosan tak lepas dari keinginan sebagian orang mengonsumsi minuman dengan kadar alkohol tinggi. Namun karena minuman alkohol golongan C atau yang memiliki kadar alkohol di atas 20 persen, baik impor maupun produksi lokal, dinilai mahal, para peminum tersebut memilih miras oplosan yang diracik dengan metanol, jenis alkohol yang murah harganya meski meracuni tubuh dan mematikan. Selain berkadar alkohol tinggi, harga miras oplosan juga sangat murah.
Korban miras oplosan umumnya kalangan masyarakat bawah. Miras oplosan, sebagian orang menyebutnya dengan nama ginseng, bagi mereka, sangat terjangkau. Dengan uang Rp 15.000, mereka dapat memperoleh miras oplosan satu plastik isi 500-600 mililiter, dan Rp 25.000 per plastik isi hampir 1 liter.
Sementara minuman alkohol golongan C yang didistribusikan secara legal itu umumnya impor dan dijual dengan harga sangat mahal. Miras impor hanya dijual di tempat tertentu, dan satu botol isi 1 liter paling murah Rp 900.000.
Di toko bebas pajak, tersedia dengan harga jauh lebih murah tetapi harus menunjukkan paspor dan tiket pesawat keluar negeri. Sementara miras legal produksi lokal , ukuran 350 mililiter dijual dari harga Rp 60.000-Rp 100.000. Itu pun sulit dicari.
Dimas (21), warga Jakasetia, Kota Bekasi, mengaku memilih membeli miras oplosan karena tidak punya cukup uang membeli minuman beralkohol lokal yang berlabel dan dikemas dalam botol kaca. “Sebenarnya lebih enak minum yang botolan (miras legal produk lokal). Tapi karena duit cekak ya akhirnya patungan beli ginseng,” kata Dimas.
Dimas yang sudah lima bulan menganggur, bersama keempat temannya menjadi korban miras oplosan. Mereka mengonsumsi enam plastik minuman ginseng Minggu (1/4) malam. Satu plastik dibeli Rp 16.000. Usai mengonsumsi ginseng, Dimas sempat merasa pusing, dada terasa panas, dan penglihatan buram.
Jimmy (24), satpam di salah satu tempat olahraga di Jakarta Utara, mengungkapkan, dia tahu ada banyak korban tewas akibat miras oplosan. Jimmy menuturkan, kalau ada uang lebih, baru dia bersama temannya patungan membeli minuman dengan kadar alkohol 40 persen yang dijual secara legal. “Kalau lagi dapat yang murah, patungan sama teman, beli satu botol. Kadang ada yang dijual Rp 300.000. Mahal sih dibandingkan ginseng,” katanya.
Ringan
AK (45), peminum setia miras oplosan ini pun mengaku, keinginannya mengonsumsi minuman beralkohol di atas 20 persen itu tak dapat digantikan dengan bir. Sebab, kadar alkohol pada bir itu hanya 5 persen. “Kalau bir itu ringan,” ucap juru parkir di kawasan Kanal Timur, Jakarta Timur ini.
Bahkan saat polisi gencar merazia penjual miras oplosan, AK masih berusaha mencarinya. Dia sempat menemukan penjual miras oplosan di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur Namun karena banyak razia, lanjutnya, pedagang hanya menjual minuman per bungkus isi 300 mililiter seharga Rp 25.000.
“Biasanya harga Rp 25.000 bisa dapat hampir seliter. Tapi ini cuma 300 ml. Pedagang juga tidak mau menjualnya ke saya, karena saya dianggap asing. Dia takut ada mata-mata. Hanya pelanggannya saja yang dikasih,” kata AK.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Suratmono menyampaikan, BPOM telah meneliti bahan miras oplosan. Dari beberapa sampel yang diteliti, ditemukan sebagian besar minuman tersebut mengandung metanol hingga 22 persen.
“Minuman beracun (miras oplosan) itu disebabkan salah satunya karena kandungan metanolnya yang tinggi,” ucap Suratmono.
Minuman alkohol yang aman dikonsumsi, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, itu adalah yang mengandung etanol (C2H5OH). Minuman itu juga hanya diproses dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat.
Setiap minuman itu, sesuai Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2016 tentang standar keamanan dan mutu minuman beralkohol, juga dibatasi kandungan metanolnya (CH3OH), yakni tidak lebih dari 0,01 persen volume/volume (dihitung pada volume produk).
“Contohnya bir, kadar alkoholnya 5 persen, maka kadar metanolnya maksimal 0,01 persen per seratus dari kadar 5 persen alkohol di minuman itu. Sangat kecil sekali. Sementara yang kami temukan pada sampel yang diperiksa itu ada yang kadar metanolnya mencapai 22 persen,” jelasnya.
Lain halnya dengan minuman alkohol yang diproduksi secara tradisional, menurut Suratmono, itu pada umumnya aman dikonsumsi karena diproduksi dari bahan makanan, bukan dibuat dari campuran metanol. Namun itu pun diatur produksi dan peredarannya dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013, bahwa minuman alkohol tradisional itu dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan. Pengendaliannya dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah.
Sementara miras oplosan, menurut Suratmono, itu banyak terbukti menggunakan metanol, dan itu jelas-jelas menyimpang. Namun untuk mengendalikan penggunaan metanol itu juga masih sulit karena metanol dibutuhkan untuk kepentingan industri, dan banyak dijual di toko bangunan.
BBPOM pun, lanjut Suratmono, tak memiliki kewenangan untuk mengendalikan produksi miras oplosan karena belum ada regulasinya. Pengendalian itu perlu dilengkapi peraturan bersama menteri, seperti pada pengendalian penggunaan formalin dan boraks pada makanan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 43/2013 dan Nomor 2/2013 tentang pengawasan bahan berbahaya yang disalahgunakan dalam pangan.
“Kita (kementerian dan lembaga terkait) perlu duduk bareng. Seperti halnya formalin, itu kan dulu diatur, sekarang sudah ada tata niaganya. Nah sekarang siapa yang harus take the lead (melopori) untuk memulai bagaimana membuat regulasi untuk pengendalian peredaran metanol itu,” jelasnya.
Dari pengamatan Kompas, alkohol teknik untuk kebutuhan industri, mudah sekali diperoleh di toko bahan kimia. Salah satu toko di Pasar Senen, Jakarta, menjual metanol per botol isi 1,5 liter seharga Rp 15.000
Koordinator Divisi Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sularsi menyampaikan, penggunaan metanol pada miras oplosan adalah penyalahgunaan fungsi. “Kalau sudah banyak yang menyalahgunakan fungsi suatu produk, menjadi sangat penting untuk diatur,” jelasnya.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan, produsen dan penjual miras oplosan bakal dijerat hukuman maksimal untuk memberi efek jera. “Ini harus menjadi perhatian serius karena merupakan fenomena gila. Terapkan pasal dengan hukuman maksimal untuk kasus ini,” ujarnya.
Direktur Tertib Niaga Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan, Veri Anggriono Sutiarto menyampaikan, siap duduk bersama dengan semua pemangku kepentingan, membahas regulasi baru guna merespons banyaknya korban tewas akibat miras oplosan. “Apakah revisi peraturan yang ada atau menambah aturan baru, itu akan kami lihat,” jelasnya.
Menurut spesialis penyakit tropik dan infeksi dari Rumah Sakit Persahabatan, dr Eppy, selain metanol, ada dua jenis alkohol lagi yang sifatnya toksik atau beracun yakni isopropanolol (isopropyl alkogol) dan etilen glikol. Isopropanolol, biasa digunakan sebagai aseton atau penghapus cat kuku. Namun karena belum ada regulasi pengendalian, isopropanolol kerap dipakai sebagai campuran minuman. (RYAN RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/TATANG MULYANA SINAGA/DD16)