JAKARTA, KOMPAS -- Pemberian Bantuan Pendidikan Siswa Miskin dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menuai kritik. Sistem seleksi dinilai terlalu longgar dan tidak transparan. Dibutuhkan persyaratan yang lebih jelas agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat akurat.
“Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Pendidikan Siswa Miskin) kuotanya terbatas, sementara jumlah penduduk miskin pada usia kuliah banyak. Tata cara pemilahan dan pemilihan mahasiswa yang layak menerima bantuan tersebut harus transparan. Kalau tidak, akan menimbulkan kecemburuan di masyarakat,” kata Koordinator Nasional Nasional Pemantau Pendidikan Indonesia Abdullah Ubaid ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) tahun 2018 mencatat ada 360.000 mahasiswa penerima Bidikmisi yang aktif kuliah. Untuk tahun kuliah 2018, pemerintah memberi kuota sebanyak 90.000 mahasiswa baru.
Ia mengungkapkan, masyarakat menduga ada permainan politik lokal pada pembagian Bidikmisi. Misalnya, siswa dari sekolah-sekolah tertentu yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal memiliki kesempatan lebih besar menerima Bidikmisi dibandingan dengan sekolah yang kritis kepada pemerintahan lokal.
“Semestinya, ada aturan yang lebih daripada sekadar miskin. Bisa dibuat aturan tertulis bahwa siswa miskin yang yatim piatu diprioritaskan menerima Bidikmisi, dengan begitu masyarakat tidak curiga,” ujar Ubaid.
Keputusan perguruan tinggi
Pada kesempatan terpisah, Direktur Kemahasiswaan Kemenristek dan Dikti Didin Wahidin menjelaskan kriteria pertama mahasiswa penerima Bidikmisi ialah berasal dari keluarga miskin. Kriteria kedua adalah diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk PTN, Seleksi Bersama Masuk PTN, dan ujian mandiri.
“Selanjutnya, tiap-tiap PTN akan melakukan verifikasi mahasiswa potensial penerima Bidikmisi. Apabila memang sesuai dengan persyaratan kemiskinan, mahasiswa itu dinyatakan layak menerima Bidikmisi,” ujar Didin. Ia menerangkan, hak memilih penerima Bidikmisi merupakan prerogatif PTN.
Didik menyebutkan kriteria penerima bidikmisi. Mereka adalah siswa penerima Beasiswa Siswa Miskin (BSM) atau Pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau sejenisnya; atau pendapatan kotor gabungan orang tua/wali (suami istri) maksimal Rp 4 juta per bulan dan atau pendapatan kotor gabungan orangtua/wali dibagi jumlah anggota keluarga maksimal Rp 750.000 per bulan.
Pendidikan orang tua/wali setinggi-tingginya S1 (Strata 1) atau Diploma 4. Sang penerima pun memiliki potensi akademik baik berdasarkan rekomendasi objektif dan akurat dari kepala sekolah.
Kriteria lama yang merujuk standar Badan Pusat Statistik sudah tak berlaku. Kirteria menurut BPS antara lain ialah rumah tidak berdinding tembok, luas tempat tinggal kurang dari 8 meter per segi per orang, pendapatan kepala rumah tangga maksimal Rp 600.000 per bulan, dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah SD.
Didin mengatakan, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN wajib menyediakan kuota 20 persen untuk mahasiswa miskin. Apabila jumlah mahasiswa miskin yang lolos seleksi masuk di PTN tersebut kurang dari 20 persen, sisa kuota Bidikmisi dikembalikan kepada negara untuk dibagikan kepada PTN lain.
Bukan beasiswa
Penerima Bidikmisi dibayarkan uang kuliahnya oleh negara sebesar Rp 2,4 juta per semester. Mereka juga menerima uang saku Rp 650.000 per bulan. “Bidikmisi bukan beasiswa, tetapi bantuan untuk memutus rantai kemiskinan,” kata Didin.
Berdasarkan prinsip tersebut, lanjut Didin, PTN hendaknya memotivasi penerima Bidikmisi agar memiliki semangat kuliah dan mempertajam keahlian di bidang akademis serta non akademis. Berbeda dengan beasiswa yang mensyaratkan indeks kumulatif prestasi tertentu, penerima Bidikmisi tidak dibebankan kewajiban mencapai angka tertentu.
“Kalau Bidikmisi dicabut karena kinerja mahasiswa buruk, justru mengakibatkan mereka kembali ke lubang kemiskinan. Mahasiswa itu semestinya dibina agar kinerjanya membaik,” ujar Didin.
Ia juga menuturkan bahwa Bidikmisi tidak mengharuskan mahasiswa diterima di PTN berakreditasi minimal B. Hal ini karena sering kali PTN yang berada di wilayah terdekat dari kediaman mahasiswa adalah PTN yang berakreditasi C. Bahkan, hanya ada PT swasta (PTS) berskala kecil.
Bagi mahasiswa miskin yang kuliah di PTS, Bidikmisi disalurkan melalui kopertis. PTS tidak memiliki kewajiban membuat kuota 20 persen untuk mahasiswa miskin karena pembiayaan bersifat mandiri. Oleh sebab itu, Didin mengakui masih ada PTS yang uang kuliahnya di atas rp 2,4 juta per semester yang belum mampu menampung mahasiswa penerima Bidikmisi. (DNE)