JAKARTA, KOMPAS — Seperti rokok konvensional, rokok elektrik berpotensi mengganggu kesehatan. Keduanya dapat mengurangi ikatan oksigen dalam tubuh dan mengandung zat karsinogenik.
Pada prinsipnya, mengisap rokok elektrik atau vaping berbeda dengan rokok konvensional. Rokok elektrik menggunakan media uap air yang telah dipanaskan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 60 orang di Universitas Muhammadiyah, Jakarta, pada 2013, kadar karbon monoksida (CO) yang dihasilkan perokok konvensional dan elektrik tidak jauh berbeda.
Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Onkologi Indonesia, Feni Fetriani Taufik, mengatakan, apabila tidak merokok, kadar CO yang terkandung dalam embusan napas seseorang berkisar 0-4 bagian per juta (part per million/ppm).
Kadar karbon monoksida (CO) yang dihasilkan oleh perokok konvensional dan elektrik tidak jauh berbeda.
Dari penelitian itu, rata-rata kadar CO yang diembuskan perokok konvensional 8 ppm, sedangkan perokok elektrik 7,37 ppm. ”Bedanya hanya sedikit. Paling aman adalah tidak merokok sama sekali,” kata Feni dalam diskusi bertajuk ”Alternatif Berhenti Merokok dalam Perspektif Kesehatan dan Regulasi” di Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Zat CO berbahaya bagi tubuh karena lebih mudah diikat oleh sel darah merah atau hemoglobin. Feni mengatakan, hal itu berakibat pada berkurangnya kadar oksigen dalam darah untuk diedarkan ke seluruh organ tubuh.
Selain itu, Feni menambahkan, ada penelitian yang membandingkan urine perokok elektrik dengan orang yang tidak merokok. Dalam urine perokok elektrik terkandung zat yang mengindikasikan potensi kanker kandung kemih.
Potensi kanker itu dapat muncul karena ada zat karsinogenik yang terkandung dalam rokok elektrik. Feni mencontohkan, senyawa nitrosamin.
Zat-zat yang terkandung dalam rokok elektrik belum tentu dapat diterima oleh saluran pernapasan, seperti laring, faring, dan paru.
Nikotin yang terkandung dalam rokok elektrik juga disoroti oleh Feni karena dapat menyebabkan kecanduan. Menurut dia, tingkat adiktif nikotin hampir setara dengan kokain dan heroin.
Hingga saat ini, rokok elektrik terus diteliti dampak kesehatannya pada pengisapnya dalam jangka panjang. ”Zat-zat yang terkandung dalam rokok elektrik belum tentu dapat diterima oleh saluran pernapasan, seperti laring, faring, dan paru,” ujar Feni.
Peneliti dari Himpunan Peneliti Indonesia, Erman Aminullah, mengatakan, rokok elektrik di Indonesia perlu diatur dari segi usia pembeli, pengemasan, dan label peringatan kesehatan. Sampai saat ini, aturan yang dikenakan pada rokok elektrik di Indonesia menyangkut bea dan cukai senilai 57 persen.
Di sisi lain, menurut pembina Asosiasi Vaper Indonesia, Dimas Jeremia, kehadiran rokok elektrik dapat menjadi alternatif untuk menghentikan kebiasaan merokok secara konvensional. ”Setidaknya saya tidak keracunan tar yang ada pada rokok konvensional,” ujarnya.
Namun, Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar Amaliya mengatakan, ada cara lain untuk berhenti merokok, seperti mengonsumsi obat-obatan yang dianjurkan dokter, terapi, atau konseling dengan tenaga kesehatan.
Dia berpendapat, rokok elektrik dipilih jadi alternatif karena mempertahankan tingkah laku kebiasaan merokok konvensional, yakni memegang suatu alat yang diisap.