Wacana Pilkada Tidak Langsung Kembali Mencuat
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung kembali mencuat karena mahalnya biaya politik. Namun, sistem ini dinilai belum efisien jika anggota DPRD masih belum mampu mewakili rakyat di daerah dan melakukan tindak korupsi.
Wacana pilkada tidak langsung ini dilontarkan oleh sejumlah anggota partai politik dalam acara diskusi Pemilu dan Biaya Politik di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (20/4/2018). Mereka menilai, pilkada langsung ini membuka celah politik uang dan mahar politik semakin berkembang.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menjelaskan, partai cukup kewalahan untuk melakukan seleksi calon pemimpin di ratusan daerah selama pilkada langsung. Dalam seleksi tersebut, siapa pun calon kepala daerah boleh mendaftar ke parpol dengan latar belakang yang beragam.
”Dalam proses tersebut, selain kami tanyakan visi-misinya, apakah calon tersebut juga siap dari sisi materi. Kesiapan soal materi ini adalah suatu yang lumrah agar pasangan yang kami rekomendasikan bisa menang,” katanya.
Menurut Ferry, jika pilkada diusung oleh DPRD, parpol dapat menyiapkan kadernya sebagai kepala daerah. Ia menjelaskan, sikap Gerindra sejak 2014 sudah jelas untuk mendorong pilkada tidak langsung bisa dilaksanakan.
”Pilkada langsung ini memunculkan potensi politik uang dan mahar politik. Ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung oleh pilihan kita semua,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Nasional Demokrat Willy Aditya menjelaskan, perilaku masyarakat Indonesia yang mendorong biaya politik mahal berkembang dalam pilkada langsung. ”Masyarakat lebih melihat dari sisi elektabilitas (kepopuleran) suatu calon daripada melihat integritasnya. Para calon rela mengeluarkan banyak uang untuk memasang baliho supaya populer,” katanya.
Selain itu, agar semakin dikenal oleh masyarakat, para calon rela melakukan politik uang agar bisa dipilih oleh masyarakat. Willy berpendapat, sebaiknya pilkada dilakukan secara tidak langsung selama kondisi masyarakat Indonesia masih belum mumpuni.
Ketua Departemen Politik DPP Partai Keadilan Sejahtera Pipin Sopian mengatakan, pilkada langsung ini juga membuat biaya untuk saksi dari parpol semakin besar. Selain itu, para calon juga berpotensi menerima dana dari sumber-sumber yang tidak jelas untuk menutupi biaya ini.
”Dalam partai kami, ada iuran anggota untuk menutupi biaya selama pilkada dan pemilu. Untuk anggota DPR, mereka wajib membayar iuran Rp 20 juta setiap bulan, sedangkan untuk anggota biasa ditarik 6 persen dari pendapatannya per bulan,” katanya.
Untuk memperoleh jabatan bupati atau wali kota, setiap calon memerlukan dana Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina, menjelaskan, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, untuk memperoleh jabatan bupati atau wali kota, setiap calon memerlukan dana Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar. Ia menilai, saat ini pilkada tidak langsung belum efisien dilakukan karena mampu memicu korupsi.
”Berdasarkan data yang kami himpun, sejak awal berdiri hingga 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan 182 anggota DPR dan DPRD sebagai tersangka,” katanya.
Selain itu, Almas mengatakan, untuk mengurangi biaya saksi, sebaiknya para pengawas dari peserta pemilu perlu diperkuat independensinya. ”Saya juga tidak setuju kalau biaya saksi dari tiap parpol menggunakan dana APBN. Oleh sebab itu, pengawas dari penyelenggara pemilu di daerah perlu diperkuat independensinya,” ujarnya.
Sebelumnya, Kamis (19/4), Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, masyarakat kerap dijadikan kambing hitam dalam pilkada langsung. Sejumlah elite politik kerap menyalahkan masyarakat jika ada politik uang yang berkembang selama proses pilkada.
”Masyarakat kerap dijadikan kambing hitam, padahal parpol memiliki fungsi untuk melakukan pendidikan politik di masyarakat. Selain itu, yang permicu terjadinya politik uang adalah para calon yang berkontestasi juga,” ujarnya.
Pilkada tidak langsung bukan menjadi solusi untuk mengurangi biaya politik yang besar.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Maruarar Sirait, mengatakan, pembiayaan partai dari iuran anggota merupakan jawaban yang normatif untuk menutupi dana kampanye yang besar. Menurut dia, pilkada tidak langsung bukan menjadi solusi untuk mengurangi biaya politik yang besar.
”Seharusnya para calon bisa melakukan pendekatan yang kreatif kepada masyarakat sesuai dengan basis pemilihnya. Contohnya, jika ingin mengincar suara anak muda, mereka bisa melakukan pendekatan olahraga dan seni budaya tersebut,” katanya.
Peluang Jokowi-Prabowo
Dalam kesempatan kali ini, Maruarar mengatakan, potensi Joko Widodo dan Prabowo Subianto untuk berpasangan dalam Pemilu 2019 bisa saja terjadi.
”Hubungan Jokowi dan Prabowo saya lihat cukup baik. Apalagi fakta di lapangan membuktikan bahwa sosok Jokowi dan Prabowo yang paling banyak disebut dalam Pemilu 2019,” katanya.
Namun, Maruarar mengatakan, semuanya diserahkan kembali kepada Jokowi. ”Karena selain elektabilitas, tentunya harus ada kecocokan antara visi dan misi di antara mereka berdua,” ujarnya.
Berbeda pendapat dengan Maruarar, Ferry mengatakan, potensi pasangan ini sulit terbentuk. ”Kecuali jika Jokowi ingin menjadi wapresnya Prabowo nanti,” ujarnya.