JAKARTA, KOMPAS – Infeksi cacingan memicu stunting atau anak pendek akibat kurang gizi kronis di Indonesia. Infeksi cacingan yang kronis menyerap nutrisi dan darah dalam tubuh sehingga mengganggu tumbuh kembang anak. Kondisi tersebut kemudian sebabkan anak menjadi stunting.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi cacingan di Indonesia mencapai 28,25 persen. Namun, angka ini kurang menggambarkan kondisi sebenarnya karena di banyak daerah tingkat prevalensi cacingan berada di atas 50 persen.
Dokter spesialis gizi klinik di Rumah Sakit Pelni Jakarta, Juwalita Surapsari, mengatakan, tingginya prevalensi infeksi cacingan menunjukkan masyarakat belum menganggap infeksi cacingan menjadi penyakit serius. Padahal, infeksi cacingan yang kronis atau lebih dari tiga bulan terjangkit pada anak dapat menyebabkan gangguan gizi pada anak.
“Infeksi itu menyebabkan anak tidak nafsu makan. Infeksi yang terus berulang akan menyebabkan anak kurang gizi dan memengaruhi pertumbuhan fisik dan kognitif sang anak. Ini bisa berakhir pada stunting,” ujar Juwalita dalam media briefing bertemakan “Edukasi Mengenai Infeksi Cacing dan Hubungannya Terhadap Gangguan Gizi Yang Berdampak Stunting”, di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat (20/4/2018).
Adapun. menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, tingkat prevalensi stunting di Indonesia sebesar 37,2 persen. Angka itu terus meningkat dibandingkan pada 2010 sebesar 35,6 persen dan pada 2013 sebesar 36,8 persen.
Kontak langsung
Ada tiga jenis cacing yang dapat memengaruhi tumbuh kembang anak, yakni cacing cambuk, cacing tambang, dan cacing gelang. Siklus hidup ketiga cacing tersebut berkembang di tanah dalam bentuk larva atau telur cacing
Juwalita menjelaskan, cacing dapat masuk ke dalam tubuh manusia karena adanya kontak langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi larva. Di dalam tubuh manusia, cacing akan berkoloni dan berkembang biak di usus. Saat itulah, cacing menyerap nutrisi yang masuk ke dalam tubuh. Cacing tambang dan cacing cambuk bekerja menghisap darah, sedangkan cacing gelang menghisap protein dan karbohidrat.
“Jadi, cacing ini juga mengonsumsi zat besi yang kita punya. Jadi, simpanannya sudah semakin menurun, nutrisi makanan yang masuk juga dihisap oleh cacing. Jadi bisa kebayang, anak ini secara status gizinya akan mengalami malnutrisi yang kronis,” ucap Juwalita.
Adapun, berdasarkan riset Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), infeksi cacingan dapat menyebabkan kerugian ekonomi dengan total Rp 212,9 miliar setiap tahunnya akibat kehilangan karbohidrat dan protein. Sementara itu, kehilangan darah akibat dihisap cacing tambang sebanyak 3,8 juta liter per tahun, dan kehilangan darah akibat dihisap cacing cambuk sebanyak 1,7 juta liter per tahun.
Perhatian minim
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengatakan, anak yang terinfeksi cacingan tidak menunjukkan gelaja yang spesifik sehingga kerap terabaikan. Namun, orang tua patut mewaspadai kondisi anak ketika menunjukkan gejala tidak napsu makan.
“Orangtua diharapkan selalu mengukur tinggi dan berat badan anak setiap bulan agar bisa dilihat kurvanya. Dalam tiga kali pengukuran sudah bisa kelihatan. Ketika kurva tinggi dan berat badan menurun, kita baru boleh curiga ada gangguan dalam nutrisi anak,” ujar Jane.
Orangtua diharapkan selalu mengukur tinggi dan berat badan anak setiap bulan agar bisa dilihat kurvanya.
Jane menambahkan, pemerintah saat ini mulai serius menangani infeksi cacingan karena berdampak langsung pada stunting. Pada 2019, Kemenkes menargetkan penurunan prevalensi cacingan hingga mencapai 10 persen. Kemudian, penurunan prevalensi stunting hingga 28 persen.
“Pemerintah ingin concern turunkan stunting ini lewat penurunan angka cacingan. Karena, dua kondisi ini saling berkaitan, jadi kami juga harus mengejar penurunan angka keduanya,” ucap Jane.
Upaya penurunan prevalensi cacingan dilakukan dengan intervensi pemberian obat cacing kepada para siswa sekolah dasar di daerah yang memiliki prevalensi tinggi. Intervensi itu dengan pemberian obat cacing selama dua bulan selama setahun, yakni setiap Februari dan Agustus.
“Penyakit ini sebenarnya bisa dicegah, tetapi kesadaran orang tua ini yang masih susah karena anak terkadang masih dibiarkan tanpa alas kaki dan belum rutin beri obat cacing. Kebersihan makanan juga belum dijaga,” ujarnya.