KUPANG, KOMPAS — Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur sebesar 1.160.000 jiwa, dan sebagian besar dialami kaum perempuan sebagai penduduk terbesar di daerah itu. Sebagian besar masalah kemanusiaan NTT dialami perempuan.
Saatnya perempuan NTT bangkit membentuk diri agar dikenal masyarakat luas. Perempuan paling berperan di dalam rumah tangga, menentukan semua keputusan dan kebijakan, dalam menata keluarga.
Direktris Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) NTT Ansy Rihi Dara pada diskusi publik menjelang peringatan Hari Kartini yang diselenggarkan harian Pos Kupang di Kupang, Jumat (20/4/2018), mengatakan, kemiskinan di NTT menduduki peringkat ketiga nasional setelah Papua dan Papua Barat.
”Data tahun 2015, jumlah warga miskin di NTT sebanyak 1,6 juta jiwa. Dari jumlah ini, 1.010.000 adalah perempuan. Mereka ini kebanyakan janda atau single parent. Karena itu, boleh disimpulkan, kemiskinan di NTT berwajah perempuan,” tutur Ansy.
Perempuan NTT selalu dihadapkan pada berbagai persoalan kemanusiaan, terutama menyangkut kesejahteraan hidup. Sebanyak 93,3 persen perempuan NTT bekerja mengurus rumah tangga dengan 70,4 persen di antaranya termasuk kelompok pekerja tidak dibayar.
Provinsi ini pun termasuk tidak ramah terhadap perempuan. Hal itu ditandai dengan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan.
Data LBH Apik 2013-2017 memperlihatkan, kekerasan seksual terhadap perempuan sebanyak 384 kasus, kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 84 kasus, dan perdagangan orang 83 kasus.
Pada 2014, sebanyak 135 ibu rumah tangga meninggal, termasuk ibu melahirkan, 970.000 rumah tangga di NTT terinfeksi HIV, dan sebagian besar meninggal dalam 10 tahun terakhir.
Apa pun pendidikan seorang perempuan, selama sistem patriarki masih mendominasi di NTT, perjuangan perempuan untuk bangkit setara dengan kaum pria sangat berat.
Adat, budaya, tradisi, dan terkadang perempuan sendiri pun merasa diri harus berada pada posisi nomor dua dari kaum pria. Ini cukup menghambat perempuan untuk maju.
Ia mengatakan, Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April tidak lain adalah hari perjuangan perempuan Indonesia, termasuk NTT, untuk keluar dari kemiskinan, keterbelakangan, kemiskinan, penindasan, dan perlakuan tidak adil oleh kaum pria.
Hari Kartini tidak sekadar diperingati begitu saja, tetapi menjadi momen bagi kaum perempuan untuk merefleksikan diri sebagai orang yang tertindas dan terkurung.
Peringatan Hari Kartini 21 April mendorong perempuan untuk menyiapkan diri secara matang menghadapi Pemilu Legislatif 2019. Kuota yang disiapkan 30 persen bagi kaum perempuan di legislatif jangan diabaikan begitu saja oleh perempuan.
Prof Ir Mien Ratoe Oedjoe dari Universitas Nusa Cenda, Kupang, mengatakan, perempuan harus belajar berkembang menjadi matang dan dewasa melalui berbagai kegiatan dan aktivitas.
Saatnya perempuan NTT membentuk dan menempa diri di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
”Cepat atau lambat, masyarakat akan menilai dengan sendiri bagaimana kualitas, kemampuan, dan kepribadian perempuan itu. Jika Anda perempuan, tampil bercahaya, beraroma, dan pancaran kemampuanmu menarik banyak pihak. Anda jangan ragu menjadi perempuan sukses di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Kemudian, jika Anda pandai membawa diri, Anda akan disegani dan dihormati,” tutur Oedjoe.
Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang Dion DB Putra mengatakan, keberpihakan media massa terhadap perempuan sudah cukup tinggi. Ini terbukti dari sejumlah pemberitaan mengenai perempuan dari berbagai sisi, baik kesuksesan, kemalangan, penderitaan, perlakuan tidak adil, maupun mengalami tindakan kriminal.
Perempuan juga berperan sangat luas di dalam keluarga. Selain mendidik anak dan mengurus rumah tangga, sesuatu hal yang menyangkut kehidupan keluarga lebih sering diputuskan oleh perempuan (istri). Itu berarti, penghargaan terhadap perempuan oleh suami di dalam keluarga pun tinggi.