Kisah Para Pejuang Pendidikan di Pelosok Kabupaten Lebak
Bangunan butut di Desa Cikadongdong, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten, tersebut lebih mirip kandang ayam. Betapa tidak, ayam-ayam hilir mudik di dalam bangunan berdinding gedek, beratap ijuk, dan berlantai tanah itu.
Akan tetapi, bangunan itu bukan kandang. Meski sesekali kambing, kucing, dan anjing juga ikut masuk, terlihat anak-anak yang belajar di gubuk itu. Di luar bangunan itu terpasang plang dengan tulisan ”MI An-Nazwa, Kampung Pasir Muncang, Desa Cikadongdong, Kecamatan Cigemblong” yang sudah pudar.
”Ya memang seperti ini Madrasah Ibtidaiyah (MI) An-Nazwa,” kata Muhamad Ridwan (33) seraya tersenyum, pertengahan Maret 2018. Ridwan mendirikan sekolah itu tahun 2009. Desa Cikadongdong berjarak sekitar 180 kilometer (km) dari Jakarta.
Di tengah keterpencilan dengan akses yang sulit ditembus kendaraan bermotor karena jalan rusak, Ridwan mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak. Berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, Ridwan pernah malang melintang dalam dunia kelam. Ayahnya meninggal saat Ridwan berumur 11 tahun.
Ibu Ridwan tak mampu menyediakan biaya sehingga Ridwan tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas. Dia pun berkelana. ”Saya pergi ke Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau. Tahun berapa sampai tahun berapa saya tak ingat lagi,” katanya.
Ridwan pernah melakukan aktivitas ilegal. Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Ridwan mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima (PKL). Saat berjualan kopi, jus, dan minuman ringan dengan gerobak itu, Ridwan berteman dengan banyak pengemudi kapal cepat.
”Mereka mengantar TKI ilegal dari Tanjung Pinang ke Johor, Malaysia. Beberapa dari mereka meninggal karena kapalnya tenggelam,” katanya. Ridwan pun sempat beberapa kali mengantar TKI ilegal hingga kabur ke Negeri Sembilan, Malaysia, untuk menjadi buruh liar perkebunan karet.
Hingga suatu ketika pengembaraan itu mencapai puncaknya, kesuraman melanda Ridwan yang kemudian memutuskan pulang ke Kampung Pasirmuncang. Di kampungnya, Ridwan menyaksikan anak-anak kesulitan bersekolah karena harus berjalan kaki dengan jarak jauh.
”Saya bertekad membangun sekolah. Warga bilang, ’Kalau kamu benar dan mau kembali ke masyarakat, kami dukung’,” ujarnya. Sekolah pun dimulai dengan menempati bangunan yang tak layak. Ridwan tak punya lahan sehingga MI An-Nazwa sudah lima kali berpindah lokasi.
”Semua tempat yang dipakai murid untuk belajar hanya berupa gubuk. Warga yang punya lahan berbaik hati menyediakan tempat sehingga saya bisa mendirikan gubuk itu,” ujarnya. Dia kemudian bertemu pengurus Yayasan An-Nazwa. Perwakilan Yayasan An-Nazwa lalu datang ke Kampung Pasirmuncang.
Ridwan belajar mengelola sekolah dengan lebih baik. Dia menentukan mata pelajaran, merapikan administrasi, dan memformalkan sekolahnya. Izin beroperasi lalu diperoleh dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Banten. Tak dapat disangkal, persoalan keuangan kerap melanda Ridwan.
”Sejak mendirikan MI An-Nazwa, saya sudah pergi tiga kali ke Malaysia untuk mengumpulkan uang. Kalau uang sudah cukup, saya pulang,” katanya. Pada awal tahun 2017, Ridwan akhirnya kehabisan uang dan tenaga. Beruntung, warga yang sudah bersimpati mengulurkan tangannya.
”Mereka mencari bambu dan kayu lalu disumbangkan untuk saya. Tantangan sebesar apa pun saya hadapi untuk tetap menjalankan sekolah itu,” katanya. Jumlah murid MI An-Nazwa saat ini sebanyak 42 orang. Ridwan tak mempersoalkan jumlah murid dan tetap fokus mempertahankan sekolahnya.
Gelora pengabdi pendidikan di pelosok Kabupaten Lebak juga tampak di Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Ai Dewi (45), guru MI Masyarikul Huda, itu mengajar di Kampung Cicakal Girang yang sulit terjangkau sinyal telepon seluler dan hanya bisa ditembus sepeda motor.
Jarak kampung itu dari Jakarta sekitar 170 km. Bangunan MI Masyarikul Huda pun termasuk mengenaskan. Kursi dan meja sudah usang dan pintunya keropos karena rayap. Air merembes di dinding saat hujan turun. Di sekolah itu hanya terdapat tiga ruang untuk para murid kelas I hingga VI belajar.
Guru-guru yang ditugaskan mendidik murid-murid madrasah itu umumnya tak kerasan. Sebaliknya, Ai tak bisa berdiam diri melihat anak-anak di berbagai kampung yang belum melek huruf karena ketiadaan sekolah. Dia pun berkeliling ke kampung-kampung lain untuk mengajar menulis, membaca, dan berhitung.
”Saya tak mencari materi. Melihat semangat anak-anak untuk belajar saja sudah membuat saya sangat terharu meski mereka tinggal di pelosok,” katanya. Ai mengajar anak usia mulai 7 tahun hingga remaja berumur 15 tahun. Sekitar pukul 20.00 hingga pukul 23.00, giliran bapak-bapak yang belajar.
Setiap malam, sekitar 10 bapak datang ke rumah Ai. Kiprah Ai menjadikan melek aksara di Kampung Cicakal Girang jauh meningkat dari 15 persen pada tahun 1992 menjadi 80 persen saat ini. Ai juga merintis pendirian Madrasah Tsanawiyah (MTs) Alam Wiwitan di Kampung Cicakal Girang.
”Kalau lulusan MI Masyarikul Huda mau melanjutkan sekolah, biayanya besar. Karena itu, MTs Alam Wiwitan dibuka sejak tahun 2010,” ucapnya. Ai mengajar pendidikan agama Islam, bahasa Arab, fikih, sejarah kebudayaan Islam, akidah dan akhlak, serta Al Quran dan hadis.
Sewaktu Ai tiba di Kampung Cicakal Girang pada tahun 1992, kondisi MI Masyarikul Huda amat memprihatinkan. Sekolah itu berdinding bilik dan berlantai tanah. ”Salah satu tiang sekolah itu juga pernah patah diseruduk kambing. Tiang lain ditabrak remaja yang sedang belajar sepeda motor,” katanya.
Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Banten Mahfudin mengatakan, jumlah kelas madrasah ibtidaiyah yang rusak ringan di Banten sebanyak 2.594 unit dan rusak berat 772 unit. Ekspos mengenai data itu akan disampaikan kepada Kemenag.
Menurut Mahfudin, pihaknya juga akan menyampaikan data itu kepada sejumlah perusahaan. Ekspos itu akan dilakukan pada Juni hingga Juli 2018. ”Harapan kami, perusahaan-perusahaan itu mau membantu memperbaiki madrasah dengan program tanggung jawab sosial,” ucapnya.