DEMAK, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong nelayan di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, untuk menangkap rajungan tanpa merusak ekosistem. Itu dilakukan, antara lain, dengan tidak menangkap induk rajungan yang sedang bertelur agar kelestarian tetap terjaga.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja, di sela-sela penyerahan bantuan alat tangkap bubu lipat di Desa Betahwalang, Sabtu (21/4/2018), mengatakan, sebagai salah satu produk ekspor perikanan unggul, pengelolaan rajungan secara berkelanjutan menjadi hal penting.
Menurut Sjarief, KKP akan menjadikan Desa Betahwalang sebagai kampung rajungan. ”Namun, kami meminta rajungan bertelur jangan ditangkap. Nanti akan kami siapkan jaring dengan patok-patok. Jadi, induk-induk unggul yang tertangkap taruh di situ sehingga nanti akan banyak tumbuh,” ucap Sjarief kepada nelayan.
Hal itu, menurut dia, sangat penting karena rajungan merupakan komoditas ekspor perikanan unggul dengan hasil hampir 400.000 ton per tahun atau ketiga terbesar setelah udang dan tuna. Selain Betahwalang, daerah penghasil rajungan lainnya adalah Provinsi Lampung dan Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan, disebutkan bahwa penangkapan rajungan dapat dilakukan dalam kondisi tidak bertelur, juga ukuran lebar di atas 10 sentimeter atau berat di atas 60 gram.
Terkait pemasaran, Sjarief mengatakan tak ada masalah. ”Banyak pabrik industri di Semarang yang menjadi eksportir rajungan dalam bentuk kaleng. Ekspornya tidak terbatas karena ini produk unggul,” ujarnya.
Alat tangkap
Guna mengurangi penggunaan alat tangkap arad yang tak ramah lingkungan, KKP menyerahkan bantuan 1.800 bubu lipat tipe kotak kepada 18 nelayan (100 unit per orang) dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Jolo Sutro. Adapun bubu tersebut dibuat secara swadaya oleh warga Betahwalang.
Sjarief menyebutkan, Desa Betahwalang juga dikenal sebagai sentra pembuatan bubu. ”Di sini banyak perajin karena itu saya putuskan untuk bantu dana sehingga masyarakatnya bekerja padat karya. Dengan demikian, semua terlibat dan ikut merasa memiliki. Ke depan, Betahwalang akan menjadi pusat ekowisata rajungan,” tuturnya.
Menurut Sjarief, untuk tahap selanjutnya, pihaknya akan kembali memesan bubu sehingga total sebanyak 10.000 bubu yang dipesan. Selain itu, alat tangkap tersebut juga didorong untuk dikembangkan serta dipatenkan karena memiliki keunikan lapisan plastik pada bagian sisi sehingga besi tidak berkarat.
Bupati Demak M Natsir mengemukakan, Demak memiliki 45 kilometer garis pantai dan salah satunya melewati Desa Betahwalang. ”Kami berharap, dengan adanya pengembangan pusat rajungan seperti ini, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Busran (44), nelayan Betahwalang, mengatakan, dirinya berganti alat tangkap dari bubu ke arad sejak lima tahun lalu karena kesulitan mencari rekan kerja. Pasalnya, menangkap rajungan dengan menggunakan bubu harus dilakukan minimal dua orang, sedangkan menggunakan arad bisa dilakukan seorang diri.
”Selain itu, hasil tangkapan dengan arad juga lebih baik karena udang dan ikan-ikan kecil juga tertangkap. Namun, ke depan, kalau memang pemerintah melarang, kami siap beralih. Selama ini, kami sadar, arad memang mengambil rajungan-rajungan yang sedang bertelur, tetapi kami mencari yang lebih menguntungkan,” tuturnya.