JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi perlu secara terbuka mengumumkan kepada publik hal-hal seperti pelanggaran yang dilakukan pimpinan atau pegawainya. Langkah itu penting untuk menjaga kinerja dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu.
”Jika mau diumumkan, ya diumumkan saja. Secara periodik, pengawas internal bekerja untuk selalu mengingatkan dan juga memberikan sanksi. Tapi bisa dilihat juga, kan, masalah internal KPK yang tersiar keluar, bisa jadi isu bermacam-macam di luar,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Sepanjang berdirinya KPK, lembaga itu memang beberapa kali mengumumkan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan atau pegawainya. Namun, hal itu cenderung dilakukan jika ada desakan kuat dari masyarakat.
Pelanggaran etik yang diumumkan antara lain yang dilakukan pimpinan KPK Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja serta Wiwin Suwandi selaku sekretaris Samad pada 2013 terkait bocornya surat perintah penyidikan untuk Anas Urbaningrum.
Sebelumnya pada 2011, Ade Rahardja yang menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK dan Bambang Praptono Sunu selaku Sekretaris Jenderal KPK juga disebut melakukan pelanggaran etik ringan. Sementara, dua nama lain, yaitu pimpinan Chandra Hamzah dan Johan Budi selaku juru bicara, dinyatakan tidak melanggar etiket.
Pada 2016, pimpinan Saut Situmorang juga dikenai pelanggaran etik karena ucapannya.
Namun, sejumlah persoalan belum diumumkan hasilnya. Hal itu misalnya terkait kasus yang diduga melibatkan Direktur Penyidikan Aris Budiman.
Laporan
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung adalah sebagian lembaga yang secara periodik memberitahukan jumlah pegawainya yang melakukan pelanggaran dan sanksi yang dijatuhkan. Bahkan hal itu dimasukkan di laporan tahunan yang disampaikan kepada masyarakat.
Agus Rahardjo berjanji, segera mengumumkan hasil penanganan pengawas internal terhadap pelanggaran yang diduga dilakukan Aris saat ia datang memenuhi undangan Panitia Angket DPR, akhir Oktober 2017.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, menilai keengganan KPK untuk mengumumkan hasil penanganan pengawas internal merupakan hal yang aneh. ”KPK itu pelopor transparansi. Kalau ada yang ditutupi, tentunya sangat janggal. Sebagai bentuk akuntabilitas publik, KPK perlu menyampaikannya. Publik perlu tahu sistem pengawasan internal KPK benar berjalan baik,” tutur Oce.
Hal senada juga disampaikan peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter. KPK harus lebih transparan memberikan gambaran kinerja pengawasan internal. KPK perlu membuka hal seperti jumlah pegawai yang dijatuhi sanksi etik atau sanksi disiplin di dalam laporan tahunan, sebagaimana yang ada di lembaga lain. ”Apabila tak dilakukan, lama-kelamaan bisa berdampak pada kepercayaan publik,” ujar Lola.