Masyarakat Harus Aktif Melawan Politik Uang dan Adu Domba
Oleh
DD08
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama seluruh lapisan masyarakat dibutuhkan untuk melawan politik uang, penghinaan, penghasutan, dan adu domba dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Pemuka agama dan partai politik memiliki peranan besar dalam membimbing masyarakat selama proses demokrasi berlangsung.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, pemilu menjadi tanggung jawab seluruh komponen masyarakat. Karena itu, peran aktif seluruh elemen masyarakat sipil untuk mendeklarasikan penolakan politik uang dan adu domba dibutuhkan agar proses demokrasi dalam pilkada dan pemilu dapat berjalan dengan baik.
”Politik uang, penghinaan, penghasutan, dan adu domba dalam pemilihan umum dapat merusak proses demokrasi,” ujar Abhan saat deklarasi tolak dan lawan politik uang, penghinaan, penghasutan, dan adu domba dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, Sabtu (21/4/2018) di Jakarta.
Ia berharap, masyarakat di seluruh Indonesia turut mendeklarasikan penolakan dan perlawanan terhadap politik uang, penghinaan, penghasutan, dan adu domba untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Dalam deklarasi tersebut, ditegaskan pilkada dan pemilu menjadi sarana kedaulatan rakyat. Pemilih menjadi faktor utama dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Prosedur dalam penyelenggaraan pilkada dan pemilu mendukung penguatan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
Bawaslu pun didorong untuk berkolaborasi bersama seluruh pemangku kebijakan dalam pemilu untuk sosialisasi dan kampanye yang bersih.
Selain itu, peran media massa dibutuhkan agar dapat menyuarakan perlawanan terhadap politik uang dan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras, golongan, serta peserta pemilu lain. Media massa juga berperan untuk melawan upaya penghasutan dan adu domba.
Politik identitas
Pinandita Sanggraha Nusantara, Wayan Sudiarsa, mengatakan, politik identitas dapat bermanfaat apabila digunakan untuk menjaga kebinekaan. Namun, penggunaan unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dipolitisasi untuk menjatuhkan lawan dapat menyebabkan kekacauan.
”Penghinaan terhadap suatu identitas dari seseorang dapat menyebabkan persatuan dan kesatuan terganggu,” ucap Wayan.
Menurut Wayan, peran aktif pemuka agama dan partai politik dibutuhkan untuk meminimalkan terjadinya penghinaan tersebut. Mereka menjadi panutan bagi masyarakat dalam bertutur kata dan berperilaku.
Sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk mencontoh apa yang dikatakan dan diperbuat oleh orang yang menjadi panutannya. Oleh karena itu, tokoh agama dan partai politik perlu menjaga perkataan serta perbuatannya agar tidak menyebabkan masyarakat terpengaruh ke arah negatif.
Anggota Bawaslu, Afifuddin, mengatakan, penghinaan terhadap SARA dari seseorang atau kelompok merupakan bentuk pelanggaran terhadap undang-undang.
”Selama tidak terjadi penghinaan, seorang peserta pilkada dan pemilu dapat menggunakan identitas yang ada pada dirinya untuk mencari dukungan,” ucap Afifuddin.
Pengurus Departemen Bidang Politik dan Pemerintahan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Waasil Ajmi, menyebutkan, seseorang bebas memiliki identitas dan menggunakannya dalam berpolitik. Karena itu, politik identitas tidak akan dapat dihilangkan dalam gelaran pilkada dan pemilu.
Hal yang perlu diwaspadai dalam gelaran pilkada dan pemilu adalah terjadinya politik uang dan penghinaan serta adu domba menggunakan unsur SARA.
”Kami berkomitmen memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui jaringan HMI di seluruh Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI,” ujar Waasil.