Miras Oplosan di Tengah Ketatnya Pengendalian Distribusi Miras
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran miras oplosan telah menjadi ironi di tengah ketatnya pemerintah mengendalikan produksi hingga distribusi miras di dalam negeri. Serangkaian regulasi dilahirkan untuk mengendalikan distribusi miras. Bahkan, tak sedikit kabupaten dan kota yang menerbitkan peraturan daerah tentang larangan peredaran miras.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, pemerintah telah membagi jenis alkohol dan membuat golongan miras yang dapat didistribuskan dan dikonsumsi masyarakat. Jenis alkohol yang aman dan dapat dikonsumsi itu dibatasi pada jenis etanol. Dibandingkan jenis alkohol lainnya, etanol tak bersifat toksik atau meracuni meskipun jika dikonsumsi dalam jumlah banyak dan dalam jangka panjang tetap dapat mengganggu kesehatan tubuh.
Minuman itu dibagi lagi menjadi tiga golongan. Golongan A merupakan minuman beralkohol dengan kadar 5 persen, golongan B mengandung 5-20 persen, dan golongan C mengandung 20-50 persen. Golongan A itu banyak dijumpai pada bir, sedangkan golongan B dapat dijumpai pada minuman anggur, dan golongan C biasanya dijumpai pada wiski.
Distribusinya pun diperketat lagi dengan diterapkannya biaya cukai yang berbeda untuk setiap golongan miras, dan itu masih dibedakan lagi antara miras produksi lokal dan yang impor. Miras lokal itu dikenai cukai Rp 13.000 per liter untuk golongan A, Rp 33.000 per liter untuk golongan B, dan Rp 80.000 per liter untuk golongan C. Sementara miras impor dikenai cukai Rp 13.000 untuk golongan A, Rp 44.000 per liter untuk golongan B, dan Rp 139.000 untuk golongan C.
Di pasaran kita dapat menjumpai bahwa harga jual bir kaleng isi 330 mililiter itu setidaknya Rp 20.000, dan yang seliter bisa mencapai Rp 50.000. Miras impor untuk golongan C itu harganya jauh lebih mahal lagi, setidaknya Rp 900.000 hingga jutaan rupiah untuk setiap botol isi 750 ml hingga 1 liter. Sementara miras oplosan yang diracik dengan menggunakan metanol, alkohol teknik untuk kepentingan industri dan bersifat toksik itu dipasarkan Rp 15.000 untuk 600 ml dan Rp 25.000 untuk 1 liter. Harga yang jauh lebih murah dibandingkan bir sekalipun.
”Kami melihat ada kalangan yang kesulitan mengakses minuman beralkohol yang legal karena lokasi distribusinya yang terbatas dan harganya yang tidak terjangkau. Akhirnya mereka mencari substitusi dengan membuat minuman oplosan dengan zat berbahaya tanpa takaran yang jelas,” ujar Ketua Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Bambang Britono, pekan lalu.
Dari cukai yang dipungut itu, pada 2017 negara mendapatkan pendapatan cukai dari minuman beralkohol mencapai Rp 5,27 triliun dari produk dalam negeri dan Rp 287 miliar dari produk impor.
Tidak hanya dikenai cukai, pengusaha minuman beralkohol juga dipersulit distribusinya. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, distribusi minuman beralkohol golongan A atau bir dilarang didistribusikan ke gerai-gerai ritel. Golongan A hanya bisa dijual di supermarket, restoran, dan hotel yang telah berizin seperti halnya minuman beralkohol golongan B dan C.
Bambang menjelaskan, pasar dari minimal beralkohol golongan A adalah kalangan menengah. Namun, kini mereka kesulitan membeli minuman golongan A itu karena kini dijual di toko yang juga menjual minuman golongan B dan golongan C yang pasarnya adalah kalangan atas.
”Akses konsumen ini menjadi terbatas, akhirnya mereka mencari alternatif,” ujar Bambang.
Sebelum tahap distribusi, produsen minuman beralkohol legal sudah diatur banyak regulasi dari tahap produksi. Bambang menjelaskan, untuk memproduksi minuman beralkohol, mereka harus diaudit Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memperoleh izin edar.
Setiap bulan, mereka harus mengirimkan kegiatan perusahaan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengenai laporan produksi perusahaan. Mereka juga harus mengirimkan laporan kegiatan produksi perusahaan ke Kementerian Perindustrian.
Tidak hanya itu, di dalam pabrik minuman beralkohol bahkan terdapat kantor bea dan cukai yang mengawasi setiap hari. Petugas bea dan cukai mengecek jumlah produksi dan jumlah produk yang akan didistribusikan. Petugas bea dan cukai itu yang bertanggung jawab membawa kunci gudang produk yang sudah membayar cukai.
”Produk yang siap didistribusikan itu yang sudah membayar cukai. Ada juga produk jadi yang belum bayar cukai. Nah, yang memegang kunci gudang itu petugas bea dan cukai, maka pada praktiknya mereka setiap hari mengawasi proses produksi kami,” ujar Bambang.
Setelah produk dikeluarkan dari gudang dan siap distribusikan, pihak distributor itu juga harus memiliki izin distribusi minuman beralkohol. Izin itu bisa diperoleh jika mereka membangun lokasinya jauh dari sekolah dan tempat keramaian publik lainnya.
Bambang menjelaskan, total ada 36 aturan di tingkat pusat dan 150 peraturan daerah yang mengatur soal minuman beralkohol. Peraturan itu mengatur dari tahap investasi, kontrol produksi, cukai, distribusi, pembatasan konsumsi, dan 150 peraturan daerah.
”Bisa dilihat bahwa industri ini banyak sekali peraturannya, bahkan cenderung bisa dikatakan berlebihan,” ujar Bambang.
Ia mengatakan, hal ini menjadi ironis mengingat masih banyak sekali kasus korban akibat menegak minuman oplosan zat beracun berbahaya.
Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2013 yang dirilis 2014, tingkat konsumsi minuman alkohol Indonesia mencapai 0,6 liter per kapita per tahun. Namun, hanya 0,1 liter per kapita per tahun yang ditegak dari minuman beralkohol yang legal, sebanyak 0,5 liter per kapita per tahun diduga berasal dari minuman beralkohol yang tidak tercatat resmi.
Rendahnya tingkat konsumsi alkohol ini cukup janggal. Hal ini karena tingkat konsumsi minuman alkohol di Thailand mencapai 7,1 liter per kapita per tahun, tingkat konsumsi Vietnam 6,6 liter per kapita per tahun, dan Kamboja mencapai 5,5 liter per kapita per tahun.
Data WHO menunjukkan, 30 persen dari total peredaran minuman beralkohol yang beredar di dunia saat ini adalah ilegal, mayoritas berasal dari Asia Tenggara. ”Indonesia kan penduduk yang terbanyak di Asia Tenggara. Konsumsi sepertinya terlalu kecil. Barangkali banyak yang tidak tercatat secara legal,” ujar Bambang.
Ia mengatakan, sebagai produsen legal yang dijejali berbagai aturan, mereka merasa dirugikan dengan munculnya kasus korban karena minuman oplosan zat berbahaya. Karena ramai pemberitaan, distributor banyak yang menunda pengambilan barang.
”Penjualan tentu susut. Mereka melihat keadaan terlebih dahulu,” ujar Bambang.
Ke depan, ia berharap ada upaya pemerintah untuk membuat regulasi yang bisa ampuh menangkal peredaran minuman oplosan dengan zat berbahaya. Ia mengusulkan adalah dengan mendorong minuman fermentasi Nusantara atau tradisional untuk dilegalkan serta distandardisasi keamanan dan mutunya.
”Fermentasi Nusantara ini banyak sekali jenisnya. Barangkali bisa didorong menjadi alternatif juga,” ujar Bambang.
Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, pun berpandangan, pemerintah selama ini lebih sibuk mengendalikan peredaran miras impor dibandingkan memperhatikan potensi produksi miras di dalam negeri. Sementara, pada kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang ingin mengonsumsi minuman itu.
”Miras yang diproduksi masyarakat itu ada banyak ragamnya, dan diproduksi dari hasil pertanian, bukan dari bahan berbahaya, seperti metanol,” katanya.
Simon pun mengingatkan pemerintah agar tak mengendalikan peredaran miras hanya karena mengikuti norma tertentu. Pemerintah, menurut dia, perlu berangkat dari data yang nyata di masyarakat. Demikian pula dengan kepolisian, itu perlu membuktikan anggapan mereka bahwa miras berkaitan dengan kejahatan.
”Nyatanya, penegak hukum belum memiliki data terkait pengaruh konsumsi miras terhadap tindak kejahatan. Lain halnya dengan pembunuhan, data itu ada dan ada pemetaannya,” katanya.
Tanpa berangkat dari data yang nyata di masyarakat, menurut Simon, pada akhirnya miras oplosan akan terus terjadi dan terus menelan korban jiwa. Hal itu dimulai dari pemetaan peredaran alkohol, yakni alkohol apa saja yang berpotensi menyimpang. Pemetaan juga perlu dilakukan terhadap konsumen karena konsumen juga harus bertanggung jawab atas miras yang dikonsumsi terhadap keselamatan jiwanya.
”Dengan berangkat dari data nyata di masyarakat, pengendalian dapat dilaksanakan dengan tepat,” ujarnya. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI/DD16)