JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan afirmatif terkait kuota minimal keterwakilan perempuan di parlemen sudah diterapkan. Setidaknya, diharapkan ada 30 persen perwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil kebijakan politik. Namun, hingga saat ini, jumlah tersebut masih belum tercapai.
Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar Ulla Nuchrawati menyatakan, keterwakilan perempuan di dunia politik masih sangat rendah. Di tingkat pusat, tercatat hanya 17 persen, di provinsi 16 persen, dan di kabupaten/kota sekitar 14 persen.
”Masih perlu banyak gerakan masif untuk mendorong partisipasi perempuan di bidang politik,” ujarnya seusai acara bincang-bincang ”Perempuan, Politik, dan Korupsi” di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Menurut dia, upaya untuk meningkatkan peran perempuan di bidang politik harus didorong dari dua arah, yaitu dari masyarakat dan dari pribadi perempuan itu sendiri. Tidak sedikit hambatan justru ditemukan dari dalam diri perempuan. Meski sudah diberikan ruang, partisipasi perempuan belum optimal.
”Dari jumlah (representasi politik perempuan) yang masih minim seperti ini saja, sudah ada beberapa peraturan yang mulai lebih memperhatikan, melindungi, dan melibatkan perempuan. Tetapi, bagi saya pribadi, itu belum cukup. Dari posisi perwakilan Dewan, perempuan masih minim. Pimpinan DPR saat ini laki-laki semua,” ujar Ulla.
Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, Farida Patittingi berpendapat, perempuan harus masuk ke bidang politik.
Indonesia butuh lebih banyak sosok perempuan pemimpin politik.
Indonesia butuh lebih banyak sosok perempuan pemimpin politik. Jika tidak menjadi pemimpin, perempuan tidak bisa secara efektif mengubah kebijakan tertentu.
”Perempuan harus berkuasa dan berpolitik sehingga bisa memengaruhi lingkungannya. Untuk itu, perempuan harus bisa menunjukkan kelayakannya dengan mengisi diri menjadi pribadi politik yang berkualitas,” katanya.
Ia menambahkan, meski ruang bagi perempuan saat ini lebih terbuka, diharapkan bukan sekadar mengejar kuantitas semata. Perempuan politisi perlu memiliki karakter yang baik dan kompetensi yang unggul.
Selain karakter dan kompetensi, Farida mengatakan, perempuan harus unggul dalam mencapai jabatan politik.
”Dalam mencapai jabatan politik, (perempuan) harus dengan cara elegan. Kejujuran dan keterbukaan jadi kuncinya. Jangan justru menghilangkan prinsip kejujuran untuk mendapatkan jabatan,” ujar Farida.
Politik dan korupsi
Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri Nurliah Nurdin menyayangkan, saat ini, meski tidak banyak nama perempuan yang menempati jabatan politik, tidak sedikit yang terlibat dalam kasus korupsi.
Menurut dia, perempuan korupsi karena dua alasan, yaitu kekuasaan dan kebutuhan. Kekuasaan, ujar Nurliah, ada setelah mendapatkan jabatan. Ada ketidakpuasan ketika sudah mendapatkan jabatan sehingga ia ingin terus memiliki hal lebih.
Sementara kebutuhan ada ketika ingin mencapai kekuasaan. Proses untuk bisa menjadi pemimpin politik butuh biaya yang cukup besar.
”Kita (perempuan) harus terdepan memberi contoh, bahwa tidak boleh ada korupsi sekecil apa pun. Kalau punya kekuasaan, jangan untuk korupsi. Biasanya, kalau punya kekuasaan, ada potensi untuk korupsi. Perempuan harus bisa bertahan, jangan justru terjebak pada kondisi itu,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengungkapkan, tidak ada bias jender dalam korupsi. Semua orang berpotensi untuk melakukan korupsi.
”Saat ini, tidak sedikit perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi,” ucapnya.
Untuk itu, KPK terus mendorong pencegahan korupsi di tengah masyarakat, termasuk pada perempuan. Salah satu program yang dijalankan adalah ”Saya, Perempuan Antikorupsi”.
Perempuan, terutama yang berperan sebagai ibu, sangat berpengaruh untuk melahirkan karakter keluarga yang jujur. Keluarga menjadi garda terdepan dalam membentuk integritas seseorang.
”Saat ini, hanya ada sekitar 43 persen ibu yang mengajarkan kejujuran kepada anaknya. Ini menjadi suatu keprihatinan yang harus diubah,” lanjutnya.