Pelibatan TNI Atasi Terorisme Perlu Konsultasi DPR
Oleh
Antonius Ponco Anggoro dan Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat bahwa keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam memberantas suatu aksi terorisme membutuhkan keputusan politik dari Presiden. Namun, sebelum keputusan itu diambil, rencana melibatkan TNI tersebut harus terlebih dahulu dikonsultasikan ke DPR.
Aturan mengenai peran DPR dalam penentuan pelibatan TNI di Operasi Militer Selain Perang (OMSP) ini secara prinsip diatur di revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketentuan lebih lanjut akan diatur di peraturan pemerintah (PP), menyusul disahkannya revisi undang-undang itu.
”Yang penting ada payung hukumnya dulu di undang-undang. Aturan detail, tergantung isi PP,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Syaiful Bahri Anshori saat dihubungi di Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Saat ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI untuk OMSP harus didahului dengan keputusan politik presiden.
Terkait pelibatan TNI dalam memberantas aksi terorisme, menurut Syaiful, dalam revisi UU Antiterorisme disebutkan bahwa Presiden perlu berkonsultasi dengan DPR sebelum mengambil keputusan karena pelibatan TNI berarti situasi sudah genting dan menyangkut kedaulatan negara.
Keputusan seperti itu tidak bisa diambil tunggal oleh Presiden tanpa melibatkan legislatif. Kendati demikian, DPR dan pemerintah belum memutuskan sifat konsultasi itu mengikat atau tidak. Sifat konsultasi itu akan diatur lebih mendalam di PP.
Dalam PP juga akan diatur tentang batas waktu DPR merespons permintaan konsultasi dari Presiden. Batasan waktu dibutuhkan agar pengambilan keputusan sebelum menurunkan TNI itu tidak terlalu lama. ”Undang-undang yang baru ini diharapkan bisa mempercepat penanganan pemberantasan aksi terorisme tanpa melanggar hak asasi manusia,” katanya.
Anggota Pansus RUU Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, salah satu tujuan dari keharusan konsultasi itu untuk mencegah Presiden nantinya tidak sewenang-wenang menafsirkan keterlibatan TNI. Selain itu, juga untuk memastikan mekanisme pelibatan TNI oleh Presiden sudah melalui prosedur yang tepat.
Definisi
Terkait perkembangan terakhir pembahasan RUU Antiterorisme, Arsul mengatakan tinggal tersisa satu isu yang belum tuntas disepakati oleh pansus bersama dengan pemerintah. Isu itu terkait dengan definisi terorisme.
”Kami menerima masukan definisi dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; TNI; Polri; dan dari kalangan akademisi. Itu yang kami terus bahas. Hingga rapat terakhir belum ada keputusan, masih ada beberapa opsi,” katanya.
Salah satu yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa mereka yang disebut teroris, harus didasarkan adanya motif politik, ideologi, dan tindakan teroris mengancam negara. Pemerintah menilai penegasan itu tidak perlu. Sebaliknya, mayoritas fraksi di pansus menilai perlu.
”Menurut kami, penegasan itu perlu agar tidak sedikit-sedikit, seseorang kemudian disebut teroris. Harus ada pembeda antara yang teroris dan yang bukan. Kalaupun tidak disebut teroris, jika tindakan mereka mengakibatkan timbulnya korban jiwa, tetap bisa dipidana dengan KUHP dan ancaman hukumannya sama saja dengan di RUU ini,” paparnya.
Arsul yakin RUU ini bisa segera diselesaikan. ”Paling lambat di masa sidang DPR berikutnya (mulai pertengahan Mei) sudah disahkan,” ujarnya.