Pulau Sebira yang Terkucil dari Gemerlapnya Ibu Kota Jakarta
Bagaimana rasanya disebut warga DKI tetapi terkucil dari mana pun? Warga Pulau Sebira dapat menjawabnya dengan fasih. Selama puluhan tahun, tidak ada kapal penumpang bagi mereka untuk mengakses “dunia luar”, termasuk untuk terhubung dengan Jakarta daratan. Begitulah wajah lain Ibu Kota RI.
Rabu (28/3/2018) itu, dua jam sudah kapal cepat membawa rombongan dari Dermaga Marina Ancol, Jakarta Utara menjurus ke utara. Pulau Pabelokan sudah terlewati, gelombang laut semakin tinggi, dan guncangan ke kapal makin menjadi-jadi. Tidur di kapal dengan pendingin udara dan bangku berlapis busa tak lagi lelap. Inilah salam perkenalan dari Pulau Sebira, pulau paling utara dari DKI Jakarta, sebelum rombongan mendaratinya.
Rombongan terdiri dari para petugas Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UP PTSP) Kepulauan Seribu serta instansi-instansi pemberi layanan publik lainnya. Selain itu, sejumlah pewarta termasuk Harian Kompas.
Sebira—atau juga disebut Sabira oleh warga setempat—dikelilingi laut lepas, tanpa ditemani pulau-pulau lain untuk bahu-membahu meredam terjangan ombak ganas. Dari Jakarta bagian Pulau Jawa, pulau ini berjarak lebih dari 100 kilometer. Secara geografis, pulau ini sudah terasing.
Sebira masuk wilayah administratif Kelurahan Pulau Harapan Kabupaten Kepulauan Seribu. Luasnya 8,92 hektar serta terdiri dari satu RW yakni RW 003 dan empat RT. Populasinya 844 jiwa.
Listrik padam
Saat kaki sudah menapak di daratan Sebira, jari pun bersiap mengirim kabar ke keluarga lewat ponsel. Namun, niat itu urung terlaksana karena tanda silang muncul pada indikator kekuatan sinyal di ponsel. Jaringan komunikasi seluler terputus total saat itu.
Ah, rupanya energi listrik sedang terputus karena kerusakan salah satu pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) alias genset. Sekitar dua jam kemudian, komunikasi dengan daratan baru bisa terhubung setelah teknisi memperbaiki genset. Jaringan seluler tentu sangat bergantung pada ketersediaan listrik.
Benak pun bertanya-tanya, bagaimana nasib warga Sebira saat seperti itu? “Sebulan yang lalu, kami sempat tidak bisa berkomunikasi selama sebulan. Itu karena genset Sebira mati-hidup-mati-hidup, sehingga repeater milik operator telekomunikasi di sini rusak,” tutur mantan anggota Lembaga Masyarakat Kota (LMK) RW 003 Kelurahan Pulau Harapan, M Ali Kurniawan (39).
Listrik yang tidak stabil ini amat berkebalikan dari gemerlap pusat kota Jakarta. Bila malam tiba, sejauh mata memandang, gemerlap gedung jangkung dan infrastruktur Jakarta tak bisa dipisahkan dari listrik.
Ke-Jakarta-an warga Sebira seakan semakin tidak terbukti dengan ketiadaan transportasi khusus penumpang ke pulau-pulau lain atau ke Jakarta. “Kami ingin seperti saudara-saudara kami di pulau lain. Mereka ingin ke darat, mudah amat, dengan banyak fasilitas yang bisa mereka nikmati. Sedangkan di Sabira ini, harus nunggu kapal yang berangkat,” ucap Ali.
Kapal yang ditunggu tersebut maksudnya kapal nelayan. Jadi, warga Sebira hanya bisa mengandalkan kebaikan hati pemilik dan awak kapal nelayan dari Sebira untuk menumpang jika butuh ke pulau lain atau Jakarta daratan, asalkan satu tujuan. Waktu keberangkatan pun tidak pasti, mengikuti kemauan pemilik dan awak kapal.
"Jemput bola"
Itulah mengapa instansi-instansi pemberi layanan kependudukan serta perizinan datang pada Rabu itu. Mereka “jemput bola” ke Sebira agar warga bisa mendapat layanan kependudukan dan perizinan tanpa terkendala waktu dan jarak.
Bagi warga yang tinggal di daratan, keluhan saat mengakses layanan-layanan itu mungkin hanya seputar kemacetan di jalan raya saat menuju lokasi pelayanan. Namun, itu tidak seberapa dengan yang dihadapi warga Sebira. Tantangan mereka lebih besar berkali lipat.
Misalnya, untuk mengurus dokumen kependudukan seperti kartu keluarga, kartu tanda penduduk, atau kartu identitas anak (KIA), warga Sebira mesti datang ke pusat kegiatan administratif Kelurahan Pulau Harapan di Pulau Harapan.
Meski sama-sama di Kepulauan Seribu, pergi ke Pulau Harapan bukan perkara sederhana. “Butuh waktu 4-5 jam perjalanan dengan kapal jika laut tenang dan sekitar 6 jam jika ada gelombang tinggi,” ujar Sekretaris RW 003 Syamsudin Manjago.
Tak heran jika pelayanan terpadu keliling yang diselenggarakan UP PTST Kepulauan Seribu di dekat dermaga Pulau Sebira “diserbu” warga. Bahkan, sebelum layanan dibuka pada pukul 14.00, warga sudah menunggu di gang depan rumah mereka sambil memegang dokumen-dokumen untuk syarat mengakses layanan.
“Ini dilakukan sebagai wujud tanggung jawab kami, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk menghadirkan negara di Pulau Sebira,” tutur Wakil Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Denny Wahyu Haryanto, yang ikut di rombongan.
Pelayanan yang diberikan Rabu itu adalah semua perizinan dan non-perizinan yang jadi wewenang DPMPTSP DKI, kependudukan dan pencatatan sipil oleh Suku Dinas Dukcapil Kepulauan Seribu, penerbitan nomor pokok wajib pajak oleh Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan Kepulauan Seribu, pengurusan berbagai pajak dan pungutan daerah oleh Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD), serta dokumen kelengkapan kapal oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kepulauan Seribu.
Sebanyak 17 petugas melayani beragam kebutuhan. Hingga sore, 95 warga mengakses layanan. Satu warga bisa mengakses lebih dari satu layanan, seperti KIA, KK, dan izin usaha mikro dan kecil (IUMK) sekaligus.
“Petugas masih berjaga hingga malam untuk melayani warga yang baru bisa datang pada malam hari, misalnya nelayan seusai melaut,” ujar Konrat Sianturi, Kepala Subbagian Tata Usaha Unit Pelaksana PTSP Kepulauan Seribu.
Achmad (38) adalah salah satu warga yang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menyerahkan berkas ke Sudin Dukcapil untuk merevisi nama istri di akta lahir anak mereka.
“Nama semestinya adalah Rohilah, sedangkan di akta tertulis Rohilah Rat,” tutur petugas penanganan prasarana dan sarana di Sebira tersebut. Karena alasan jarak dan waktu, pengurusan revisi nama tertunda tiga tahun.
Nur Alam (51) juga datang ke pelayanan keliling untuk mengambil IUMK yang sudah diurus sejak Desember lalu. Ia merupakan salah satu produsen abon berbahan ikan selar dan tengiri sejak 1985. Itu merupakan kali pertama perempuan tersebut mengurus IUMK. ”Kalau punya izin, menjual produk ke Jakarta lebih enak karena tepercaya,” ujarnya.
Namun, kehadiran petugas pelayanan keliling tidak lantas menghapus status keterkucilan warga Sebira. Mereka juga butuh untuk bepergian ke pulau lain atau ke Jakarta daratan untuk urusan-urusan lain. Selama tidak ada kapal penumpang, mereka tetaplah warga Ibu Kota yang terasing.
Pada 2015, Pemprov sebenarnya pernah menyediakan layanan kapal penumpang reguler rute Sebira-Dermaga Marina. Kapasitasnya 32 penumpang, mirip dengan yang digunakan petugas pelayanan keliling. Pengangkutan berjalan dua kali pulang-pergi per pekan. Tarif satu kali perjalanan Rp 300.000 per orang, tetapi warga pulau cukup membayar Rp 72.000 karena dibantu subsidi Pemprov. Namun, lanjut Ali, layanan itu hanya berlangsung dua bulan.
Indikator keterkucilan lainnya, terbatasnya akses telekomunikasi, terutama internet. Terdapat antena telekomunikasi selular XL Axiata yang dipasang di mercusuar tetapi itu hanya memadai untuk telepon dan layanan pesan singkat, tidak untuk internet. Untuk berselancar di dunia maya, Pemprov menyediakan dua titik fasilitas internet nirkabel (wifi).
Dengan demikian, warga yang ingin mengakses internet mesti datang ke dua titik itu, yakni di dekat dermaga serta di mercusuar. Tidak seperti warga DKI di daratan yang bisa menikmati internet dari ponsel pintarnya di rumah masing-masing. “Kalau banyak yang pakai wifi, lemot,” kata Ali.
Transportasi dan telekomunikasi jadi dua ukuran perhatian Pemprov pada warga Sebira, bahkan ke Kepulauan Seribu. “Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dikatakan berhasil kalau sudah ada transportasi dan komunikasi di Pulau Sabira,” tambah Ali.
Ali termasuk yang kukuh menyebut Pulau Sebira sebagai Sabira. Sebab, Sabira bagi dia merupakan akronim dari sabar dan gembira, dua sikap yang dibutuhkan warga untuk bertahan sebagai penghuni pulau perbatasan provinsi di tengah laut lepas.