Pemerintah Hanya Sanggup Penuhi Setengah dari Kebutuhan Perumahan
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/dd10
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui hanya sanggup memenuhi setengah dari kebutuhan pembangunan hunian baru. Untuk bisa memenuhi kebutuhan, kontribusi swasta sangat diperlukan.
”Pemerintah baru bisa memenuhi 50 persen dari total kebutuhan pembangunan hunian baru,” ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid di sela-sela acara REI (Realestat Indonesia) Mega Expo, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Ia menjelaskan, dalam setahun, kebutuhan hunian baru sebanyak 800.000-1 juta unit. Pemerintah baru bisa memenuhi setengahnya.
Khalawi menjelaskan, kontribusi pemenuhan kebutuhan 50 persen itu terdiri atas 20 persen dari dana APBN, APBD, dan BUMN. Selebihnya, 30 persen diperoleh dari kontribusi subsidi pemerintah, seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan.
Ia mengatakan, keterbatasan dana dan kemampuan pemerintah membuat pemerintah tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan perumahan baru. ”Maka dari itu, kontribusi swasta dan masyarakat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan,” ujar Khalawi.
Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata menjelaskan, pembangunan perumahan dan permukiman dibagi menjadi tiga jenis.
Pertama, perumahan nonsubsidi seperti apartemen dan kondominium. Konsumen dari pembangunan jenis ini adalah warga berpenghasilan menengah ke atas. Semua pembangunan jenis ini dilakukan oleh swasta.
Jenis kedua adalah pembangunan perumahan rusunawa dan bedah rumah kampung. Konsumen jenis pembangunan ini adalah masyarakat miskin dan tidak memiliki pendapatan tetap. Semua pembangunan jenis ini merupakan kewajiban dan dilakukan oleh pemerintah.
Jenis ketiga adalah pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Konsumen dari pembangunan ini adalah kalangan berpenghasilan sedikit di atas garis kemiskinan. Pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah ini merupakan kerja sama antara pemerintah dan swasta.
”Artinya, baik pemerintah maupun swasta sudah punya peran dan kewajibannya masing-masing. Kami saling mendukung untuk memenuhi kebutuhan rumah di masyarakat,” ujar Soelaeman.
Ia menjelaskan, sebanyak 80 persen dari kebutuhan rumah adalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan komersial, sedangkan 20 persen untuk rusunawa.
Khalawi mengatakan, untuk menggenjot pembangunan dan pemenuhan rumah baru, pihaknya akan mengandalkan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Bentuk kerja sama itu dapat berupa pemerintah menyediakan tanah dan swasta yang membangun perumahannya. Selain itu, ada juga kerja sama berupa pemerintah yang membuat infrastruktur, sedangkan swasta yang membangun perumahannya.
Hunian vertikal
Soelaeman menuturkan, salah satu alternatif untuk mempercepat pemenuhan hunian adalah dengan pembangunan hunian vertikal.
Dengan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun atau 3 juta bayi lahir tiap tahun, Indonesia harus mulai berpikir untuk membuat kawasan hunian yang bisa ditinggali banyak orang.
”Ketika dewasa, bayi itu memerlukan tempat tinggal. Demi mencari ruang kosong, akhirnya gunung, sawah, dan pantai diekspansi untuk menjadi permukiman,” ujar Soelaeman.
Khalawi pun sepakat dengan Soelaeman. Hunian vertikal menghemat penggunaan tanah dan sesuai dengan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia.
”Hunian vertikal juga sudah mulai dibangun di kota-kota besar di Indonesia. Tren ke depan mungkin akan mengarah ke sana,” ujar Khalawi.
Namun, kendala terbesar pengembangan hunian vertikal adalah budaya dan cara hidup warga Indonesia yang belum terbiasa dengan hunian vertikal dan masih lebih memilih hunian tapak.
”Pembangunan hunian vertikal harus sejalan dengan sosialisasi tentang bagaimana hidup di hunian vertikal,” lanjut Khalawi.