SDM dan Alat Pencitraan Kardiovaskular Masih jadi Kendala
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pencitraan kardiovaskular memegang peranan penting dalam memahami penyakit kardiovaskular secara lebih baik. Tidak hanya berperan dalam menegakan diagnosis dan terapi, pencitraan juga berfungsi dalam pencegahan serangan jantung. Namun, aspek sumber daya manusia dan ketersediaan alat masih menjadi kendala saat ini.
Saat jumpa pers dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (ASMIHA) ke-27 di Jakarta, Jumat (20/4/2018), Ketua Umum Pengurus Pusat Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki), Ismoyo Sunu, mengatakan, dalam bidang pencitraan kardiovaskular Indonesia tidak ketinggalan dari negara lain. Namun, ketersediaan sumber daya manusia dan alat dalam pelaksanaan tatalaksana pencitraan kardiovaskular masih perlu ditingkatkan agar lebih merata.
Setiap dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dengan bisa melakukan tindakan ekokardiografi. Namun, untuk bisa melakukan pencitraan kardiovaskular lain seperti tomografi terkomputerisasi (CT), pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan pencitraan radio nuklir perlu kompetensi lanjut.
Selain itu, ketersediaan alat CT, MRI, atau radio nuklir juga belum merata. Di tingkat provinsi, banyak rumah sakit rujukan regional yang belum memiliki ekokardiogram, misalnya.
Untuk itu, Perki bersama dengan Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah telah menyusun buku “Model Optimal Pelayanan Kardiovaskular Rumah Sakit Rujukan” yang sudah disampaikan kepada Kementerian Keseahatan. Buku itu berisi pemetaan sumber daya manusia tenaga ahli kardiovaskular dan ketersediaan fasilitasnya serta rekomentasi model pelayanan kardiovaskular untuk rumah sakit rujukan nasional, provinsi, maupun regional.
Intervensi lebih baik
Dokter spesialis jantung DAN pembuluh darah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Oktavia Lilyasari, menyatakan, pada kasus penyakit jantung bawaan pencitraan kardiovaskular merupakan hal yang sangat fundamental. Teknik pencitraan kardiovaskular yang dapat memberikan gambaran pencitraan yang baik akan memungkinkan seleksi pasien sebelum intervensi dilakukan menjadi lebih baik.
Sayangnya, kemajuan teknologi ini tidak dapat dinikmati oleh semua anak Indonesia yang membutuhkan. Intervensi bedah dan nonbedah yang sudah berhasil dilakukan di seluruh Indonesia hanya berkisar 2.000 kasus per tahun. Angka tersebut masih jauh dari kebutuhan, yaitu bisa sampai 20.000 penderita jantung bawaan setiap tahun.
“Untuk menunggu mendapatkan tindakan intervensi nonbedah di RS Harapan Kita setidaknya 1 tahun. Ada sekitar 40 pasien sehari yang datang,” kata Oktavia.
Ketua Komite Ilmiah ASMIHA, Dafsah A Juzar, menuturkan, pada awalnya, pencitraan kardiovaskular dianggap tidak lebih dari sarana untuk memvisualisasikan perubahan dalam struktur dan anatomi.
Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi kedokteran saat ini pencitraan berperan dalam diagnosis biologis, fungsional, hemodinamik, dan beberapa proses patofisiologis. Bahkan, pencitraan noninvasif seperti ekokardiografi, tomografi terkomputerisasi (CT), dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan pencitraan radio nuklir merupakan cara yang penting dalam tata laksana penyakit kardiovaskular selain pencitraan yang bersifat invasif seperti kateterisasi.
Dafsah menambahkan, teknik pencitraan kardiovaskular juga berperan dalam mendeteksi penyakit tertentu seperti penebalan dinding pembuluh darah arteri karena plak yang terbentuk dari kolesterol dan kalsium (arterosklerosis) dan kelainan otot jantung (kardiomiopati). Pencitraan molekular juga bisa mengidentifikasi penyakit kardiovaskular sejak dini sehingga pasien dapat diberi obat dan terapi pencegahan yang tepat.
Dalam penyelenggaraan ASMIHA tahun ini, pencitraan kardiovaskular menjadi fokus bahasan utama dalam simposium, presentasi, juga workshop. Tidak hanya dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, acara ini juga diikuti dokter umum, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Banyak juga pakar pencitraa kardiovaskular dari asosiasi profesi kardiovaskular dari luar negeri yang berpartisipasi.