Silvia Halim, Srikandi di Balik Konstruksi MRT
Pakaian pengaman, dari helm hingga sepatu, dikenakannya ketika meninjau area konstruksi proyek angkutan massal cepat (MRT). Di balik pembangunan itu, ada perempuan yang memimpin 60 orang dan beranggotakan mayoritas laki-laki.
Keinginan untuk mewujudkan transportasi umum yang mampu melayani masyarakat Jakarta menjadi motor penggerak pada perempuan itu.
Dia adalah Silvia Halim, Direktur Konstruksi PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta dan satu-satunya perempuan dalam jajaran direksi perusahaan.
Ada lima kepala divisi yang dipimpinnya, mulai dari manajemen proyek, konstruksi, sistem rekayasa, hingga sistem perkeretaapian.
Sebagai Direktur Konstruksi, Silvia bertanggung jawab untuk mengeksekusi, memantau, dan mengelola proyek MRT. Untuk pembangunan fase kedua, dia turut bertanggung jawab dalam perancangan, konsultasi desain pembangunan, survei lapangan, pengambilan data di lapangan, serta koordinasi dengan pemilik lahan dan pemerintah.
Saat dua rangkaian MRT yang terdiri atas enam gerbong masing-masing tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada awal April lalu, Silvia berkesempatan memaparkan rencana pengujian kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Saat Presiden Joko Widodo mengunjungi proyek MRT, dia turut mendampingi.
Dalam memimpin konstruksi proyek MRT Jakarta yang per 15 April 2018 sudah mencapai 92,95 persen secara keseluruhan, Silvia mengandalkan komunikasi terbuka dan pendekatan kolaborasi.
”Tim saya kebanyakan terdiri dari orang-orang yang lebih tua dan sudah lebih berpengalaman. Oleh sebab itu, saya memastikan setiap orang terlibat dalam pengambilan keputusan dan menyampaikan pendapatnya. Beda pandangan tidak apa, kami akan duduk bersama untuk mencari jalan keluarnya,” tutur Silvia saat ditemui di kantornya, di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Menurut Silvia, pendekatan seperti itu akan menghasilkan solusi dan keputusan bersama. Dia berpendapat, menjalankan keputusan bersama akan lebih baik daripada sekadar perintah atasan karena setiap orang merasa terlibat dalam keputusan itu sehingga dapat memberikan yang terbaik dari diri masing-masing.
Selama belasan tahun di dunia konstruksi, Silvia pernah menghadapi keraguan orang-orang sekitarnya karena dirinya seorang perempuan dan kerap kali menjadi yang termuda. Dia mengatakan, keraguan itu tampak dari bahasa tubuh, seperti kontak mata dan sikap saat dia mengemukakan ide.
Untuk menghadapi penilaian orang, saya membuktikan langsung dengan hasil kerja nyata dan etika kerja saya.
Namun, Silvia berhasil membesarkan hatinya. ”Dalam rapat terkait proyek, saya sering menjadi perempuan satu-satunya dan orang termuda. Akan tetapi, untuk menghadapi penilaian orang, saya membuktikan langsung dengan hasil kerja nyata dan etika kerja saya,” tuturnya.
Pandangan bahwa perempuan lebih emosional dalam pekerjaan juga ditepis oleh Silvia. Dia pernah menghadapi laki-laki yang sulit mengontrol emosi sepanjang berkiprah dalam dunia konstruksi.
Emosi merupakan bagian dari menjadi manusia. Oleh sebab itu, menurut Silvia, setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, perlu mengendalikan dan menempatkan emosinya secara tepat.
Silvia terjun langsung ke dunia konstruksi pada 2004, tepatnya saat dia mulai bekerja di Land Transport Authority (LTA), Singapura, sebagai Manajer Proyek Road Projects Group. LTA merupakan otoritas pemerintah yang merancang, membangun, dan memelihara transportasi umum di Singapura.
Pertama kali menjajaki bidang konstruksi secara nyata, Silvia berada di lapangan proyek secara langsung. Dia bertanggung jawab untuk menginspeksi kontraktor, melihat kualitas pembangunan, meninjau metode pekerjaan, memastikan keberjalanan lini masa sesuai perencanaan, serta memastikan keselamatan kerja.
Melayani masyarakat
Secara spesifik, Silvia memilih berkarya di bidang konstruksi infrastruktur di sektor publik.
”Hasrat saya yang sebenarnya adalah membangun sesuatu untuk melayani dan dapat berdampak bagi masyarakat. Sungguh, saya merasa puas ketika nanti melihat infrastruktur yang tim dan saya kerjakan itu bermanfaat bagi kehidupan banyak orang. Semangat inilah yang membuat saya bertahan di dunia konstruksi,” ujarnya.
Semangat yang sama juga membuat Silvia pulang ke Tanah Air pada 2016 setelah 12 tahun bekerja di Singapura. Dia tidak mau kehilangan kesempatan dalam berpartisipasi secara signifikan untuk berdampak bagi masyarakat, khususnya di Jakarta.
Hasrat saya yang sebenarnya adalah membangun sesuatu untuk melayani dan dapat berdampak bagi masyarakat.
Silvia ingin Indonesia dapat menikmati transportasi umum yang menunjang hidup sehari-hari seperti di Singapura. Dia ingin masyarakat dapat memiliki waktu yang efektif bersama keluarga atau teman-teman serta bekerja dengan angkutan publik yang tepat waktu dan selalu ada.
Meskipun menangani proyek MRT yang baru pertama kali di Indonesia, dia tidak merasa ada tantangan teknis yang berarti.
”Proyek ini jadi kesempatan kami untuk belajar sebanyak-banyaknya dari teknologi infrastruktur transportasi umum negara lain, seperti Jepang dan Singapura. Harapannya, Indonesia dapat membangun infrastrukturnya dengan teknologi terbaru secara mandiri tanpa bergantung kepada negara lain,” katanya.
Setelah obrolan ditutup, Silvia melanjutkan pekerjaannya di kantor yang nyaris tidak ada orang pada akhir pekan. Srikandi satu ini benar-benar serius menunjukkan komitmennya dalam melayani masyarakat di sektor transportasi publik.