Cahaya Sesungguhnya dari Lompobattang
Sejak tiga tahun ini masyarakat di Kampung Kayubiranga, Bulukumba, Sulawesi Selatan merasakan kembali kemajuan peradaban setelah mendapatkan aliran listrik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro. Ya, mereka terjangkau lagi aliran listrik, sesuatu yang pernah merasakan sebelumnya.
Di tahun 2006, rumah-rumah mereka sebenarnya telah teraliri aliran litrik dari panel tenaga surya. Namun kondisi ini hanya bertahan dua tahun.
Panel surya dari Pemkab itu tak bertahan lama karena terkendala pada perawatan. Saat terjadi kerusakan, masyarakat tak bisa memperbaikinya. Desa yang bejarak sekitar 200 km arah tenggara Kota Makassar itu pun gelap kembali karena hanya mengandalkan pelita minyak tanah.
Kampung Kayubiranga berada di kaki gunung atau lebih tepat disebut perbukitan Lompobattang. Hutan lindung ini menjadi sumber mata air bagi kampung-kampung setempat maupun sumber utama perusahaan daerah air minum bagi Bulukumba.
Mereka hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sulit terakses. Dari pusat kota di Bulukumba, kampung ini ditempuh satu jam menggunakan mobil menuju jalan masuk utama kampung, Jalan Na’na. Dari ujung jalan ini, mobil gardan ganda menjadi kebutuhan wajib untuk menaklukkan jalanan yang licin serta berbatu-batu dan tentu saja lengkap dengan tanjakan curam. Lokasi yang hanya berjarak 5 kilometer itu ditempuh dalam waktu lebih dari 30 menit.
Bersama Badan Litbang dan Inovasi KLHK, wartawan dalam media tur dibawa melihat desa ini, Kamis (19/4/2018). Di situ, BLI KLHK melalui unit Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Makassar mendampingi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan listrik melalui mikrohidro.
Kampung ini bukan lah daerah pertama yang dibangun mikrohidro. Di tahun 2014, Kampung Katimbang terlebih dulu mendapatkan listrik melalui mikrohidro saat didampingi Balang Institute dan CIFOR (Pusat Penelitian Kehutanan Internasional). Kebutuhan PLTMH dijawab BP2LH Makassar melalui pembuatan generator yang sederhana dan mudah dirawat masyarakat.
“Waktu turun dari Katimbang, masyarakat di Kayubiranga ini menyetop kami. Mereka meminta agar kampungnya juga dibuatkan mikrohidro,” kata Hunggul YSH Nugroho, peneliti BP2LH Makassar, Kamis di Kampung Kayubiranga.
Warga berpartisipasi
Gayung pun bersambut, warga Kayubiranga antusias untuk membangun PLTMH dari Sungai Katimbang. Nasir (70), warga setempat dengan ikhlas menyediakan lahan untuk rumah pompa dan menjadi perlintasan pipa dari kolam penenang air.
Di tahun itu, kata Nasir, warga swadaya menyediakan dana untuk pembelian generator. Satu orang membayar Rp 2 – Rp 3 juta untuk pembelian mesin mikrohidro. BP2LH menyediakan teknologi serta melatih warga setempat untuk menjadi teknisi. Warga pun bahu-membahu menyumbangkan tenaga dalam pembangunan instalasi itu.
Hunggul mengatakan teknologi PLTMH yang dibangun sangat sederhana. Bila terjadi kerusakan, masyarakat bisa memperbaiki sendiri dan mendapatkan suku cadang di pusat kota Bulukumba. “Kami menyediakan solusi yang tidak bakal menjadi masalah bagi warga,” kata dia.
Setiap bulan, listrik dari PLTMH sebesar 15.000 watt itu dibagikan bagi 47 keluarga setempat. Tiap orang menikmati sekitar 250 watt selama 24 jam. Tiap bulan, tiap keluarga ditarik iuran Rp 10.000 untuk biaya perawatan seperti penggantian bearing, sabuk (belt), maupun dinamo.
Menurut Karaeng Saleh, warga Kayubiranga, iuran ini sangat murah. Betapa tidak, sebelumnya, ia harus mengeluarkan dana Rp 20.000 setiap hari untuk pembelian 2 liter solar sebagai bahan bakar genset. Itu pun hanya beroperasi 4 jam. Belum lagi bila mereka membutuhkan aliran listrik untuk mengoperasikan alat-alat pertukangan.
Selain itu, sentuhan perekonomian lain juga disentuh dengan mendukung potensi daerah setempat sebagai penghasil kopi dan cengkeh. Kopi dari Gunung Lompobattang yang mulai terkenal baik jenis Arabica maupun Robusta dihasilkan dari daerah itu.
Kendala cuaca hujan saat penjemuran kopi karena umumnya panen saat bulan Mei-Juni mencoba diatasi dengan pondok pengering yang juga bersumber listrik dari PLTMH. Tak ingin setengah-setengah PLTMH juga dimanfaatkan untuk mesin roasting kopi sederhana. Mesin roasting berbahan bakar ranting kayu ini diberi blower yang sumber listriknya juga bersumber dari PLTMH.
Langkah ini meningkatkan nilai tambah harga kopi yang biasanya hanya Rp 12.000 per liter (kering) menjadi dua kali lipatnya saat telah di-roasting. “Sekarang sudah dipetik cahaya dari Hutan Lampobattang,” kata dia.
Ardy Labarani dari Lembaga Swadaya Masyarakat Oasis, pendamping masyarakat di Kayubiranga mengatakan, program yang dilakukan di kampung tersebut adalah program partisipasi multipihak. Pada model itu, ujarnya, masyarakat bukan sebagai objek, tapi sebagai pelaku utama. “Sumberdaya alam termasuk hutan tidak bisa dikelola sendiri. Tapi dikelola bersama-sama,” kata dia.
PLTMH ini pun terus direplikasi di berbagai tempat. Melalui sistem cascade yang memanfaatkan gravitasi bumi, aliran air PLTMH di Kampung Singgang-Katimbang mengalir ke PLTMH Kayubiranga dan terus menuju PLTMH Na’na. Sistem bertingkat ini diharapkan bisa menjadi solusi bagi desa-desa di sekitar kawasan hutan yang belum teraliri listrik.
Seperti temuan listrik yang mengubah industri dan kemajuan peradaban manusia, demikian dengan masyarakat di pedalaman yang hingga kini belum teraliri listrik. Melalui PLTMH, Nawa Cita untuk membangun ekonomi dari pinggiran – termasuk dari kampung sekitar dan kawasan hutan - bisa tercapai.
Lebih penting yang tak dilupakan, ketika listrik terpenuhi, masyarakat pun sadar keberlanjutan air sebagai penggerak PLTMH perlu dijaga dengan melindungi hutan. Melalui strategi ini, “Hutan Lestari, Masyarkaat Sejahtera” tak berhenti pada slogan. (ICHWAN SUSANTO)