Mendesak, Perppu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak
Praktik perkawinan usia anak menjadi salah satu kendala dalam pembangunan. Perlu aturan untuk menghentikan praktik ini.
BOGOR, KOMPAS -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai mendesak. Sebab beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan indeks pembangunan manusia rendah di wilayah-wilayah tertentu. Salah satu pemicunya adalah pernikahan usia anak yang juga bisa menyebabkan turunnya kualitas hidup keluarga.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yambise mengatakan hal itu saat menghadiri peringatan Hari Kartini di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/4/2018). “Melihat dari kasus yang terjadi di daerah-daerah, banyak sekali anak-anak korban kekerasan. Dilihat dari daerah yang miskin, ternyata mereka yang menikah di usia muda. Ini menunjukkan fenomena di mana daerah itu semakin miskin karena menikah di usia dini,” kata Yohana.
Indikator kemiskinan itu ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah timur Indonesia. Yohana mencontohkan, IPM di Sulawesi Barat 64,30, di bawah angka IPM nasional yang sebesar 70,81. Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi pada 2015 adalah Sulbar (34 persen). Persoalan ini, kata Yohana, memicu rendahnya IPM di Sulbar.
“Jadi ada pengaruh signifikan antara pernikahan usia dini dengan pada kemiskinan,” kata Yohana. Karena alasan itu, menurut Yohana perlu ada Perppu sebagai pengganti UU Perkawinan, terutama Pasal 1 dan Pasal 2 yang mengatur tentang pernikahan anak. Usulan ini pula yang disampaikan puluhan organisasi perempuan ke Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat (20/4/2018)
Presiden merespon positif usulan ini seraya memerintahkan Menteri Sekretaris Negara dan kementerian terkait melakukan kajian. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak pekan depan mengundang pegiat organisasi perempuan, pemerhati masalah anak, tokoh agama, dan kementerian terkait untuk mendiskusikan kajian-kajian mengenai masalah perkawinan.
Pertemuan tersebut, menurut Yohana, menjadi ajang untuk memperkuat referensi akademik. Dengan dasar itu, pemerintah menjadikannya sebagai acuan penerbitan Perppu pengganti UU Perkawinan. Pertemuan itu juga, akan dibahas hal-hal detail mengenai perkawinan. Prinsipnya, pemerintah melihat lagi ketentuan mengenai batas minimal usia pernikahan.
Aktivis perempuan mengawal
Para aktivis perempuan dari berbagai organisasi masyarakat sipil terus mengawal komitmen Presiden untuk menerbitkan Perppu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak. Bersamaan dengan Peringatan Hari Kartini, Sabtu (21/4/2018), sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak menggelar Aksi “1.000 Surat Perempuan” untuk mendukung komitmen Presiden menerbitkan perppu tersebut.
Budhis Utami dari Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) dan Musriyah dari Sekolah Perempuan Jakarta menyatakan bahwa surat-surat tersebut disuarakan oleh para perempuan arus bawah dari Jakarta, di Jawa maupun luar Jawa.
Bagi para aktivisi perempuan, perjuangan menghentikan perkawinan anak sangat penting, untuk merespon situasi Indonesia yang menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia dalam praktek perkawinan anak.
Sebab, perkawinan anak ini akan berdampak pada gagalnya Indonesia dalam bidang pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan.
Adapun KPPPA diminta proaktif melakukan melakukan penyadaran dan pemberdayaan kepada publik tentang pentingnya penghapusan dan penghentian perkawinan anak. Kementerian lain, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, diharapkan bekerja lintas sektoral dalam upaya bersama penghapusan dan penghentian perkawinan anak.
“Kami menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak dan menjauhkan dari sikap-sikap yang menghambat dengan menggunakan dalih apapun,” ujar Budhis.
Syarat-syarat
Lahirnya sebuah Perppu menurut ketentuan mesti memenuhi syarat-syarat. Pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Sementara pada Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur hal serupa. “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Mengacu pada hal itu, Erwin Natosmal Oemar peneliti Indonesian Legal Rountable berpendapat syarat-syarat tersebut belum terpenuhi sepenuhnya. Menurut Erwin, sejauh ini belum ada kepentingan yang terlalu memaksa yang membuat Presiden memilih jalan darurat tata negara.
Namun dari sisi ide yang diusung, Erwin mendukung perjuangan pegiat organisasi perempuan itu. “Saya mendukung idenya. Tapi saya rasa agak berlebihan jika harus menggunakan perppu,” kata Erwin.
Jika Perppu ini benar-benar terbit, maka perppu yang menggantikan UU Perkawinan ini merupakan Perppu ketiga yang diterbitkan Presiden Jokowi selama menjabat sebagai kepala pemerintahan. Perppu pertama diterbitkan berupa Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Payung hukum serupa yang terbit adalah Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
JAKARTA, KOMPAS – Pascabertemu Presiden Joko Widodo Jumat (20/4/2018) pekan lalu, para aktivis perempuan dari berbagai organisasi masyarakat sipil terus mengawal komitmen Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak. Selain itu, mereka juga mengawal komitmen Presiden untuk memprioritaskan pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang berporientasi pada perlindungan korban, serta meminta Presiden menarik dan mengkaji ulang Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana.
Bersamaan dengan Peringatan Hari Kartini, Sabtu (21/4/2018) pagi, sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak, berjalan kaki dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha Jalan Merdeka Barat hingga Taman Aspirasi Monumen Nasional. Mereka menggelar Aksi “1.000 Surat Perempuan” untuk mendukung komitmen Presiden menerbitkan Perppu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak.
Budhis Utami dari Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) dan Musriyah dari Sekolah Perempuan Jakarta menyatakan bahwa surat-surat tersebut disuarakan oleh para perempuan arus bawah dari Jakarta, di Jawa maupun luar Jawa, seperti Sekolah-Sekolah Perempuan warga miskin di Kota Jakarta, pedesaan Gresik Jawa Timur, daerah terpencil dan kepulauan-Pangkep Sulawesi Selatan, wilayah pegunungan terpencil Lombok Utara dan Lombok Timur (NTB), wilayah pesisir dan kekeringan di Kupang (NTT) serta Kota Padang (Sumatera Barat).
Bagi para aktivis perempuan, perjuangan menghentikan perkawinan anak sangat penting, untuk merespon situasi Indonesia yang menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia dalam praktek perkawinan anak. Sebab, perkawinan anak ini akan berdampak pada gagalnya Indonesia dalam bidang pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan.
Karena itu, dalam rangka Hari Kartini dan Hari Pendidikan 2018, mereka meminta Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, segera menerbitkan Perppu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak.
Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diminta proaktif melakukan melakukan penyadaran dan pemberdayaan kepada publik tentang pentingnya penghapusan dan penghentian perkawinan anak. Sedangkan kementerian lain, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, diharapkan untuk bekerja lintas sektoral dalam upaya bersama penghapusan dan penghentian perkawinan anak.
“Kami menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak dan menjauhkan dari sikap-sikap yang menghambat dengan menggunakan dalih apapun,” ujar Budhis.
Direktur Kapal Perempuan Misiyah, surat-surat yang berisi suara hati para perempuan dari 25 desa dari berbagai daerah yang dikumpulkan sejak 2016. "Rata-rata mereka meminta stop perkawinan anak supaya nggak ada kemiskinan, supaya perempuan sehat dan melanjutkan sekolah. Itu hasil proses penyadaran dari sekolah-sekolah perempuan di desa-desa selama ini," ujar Misiyah.
Aktivis perempuan yang juga Pengacara Publik LBH Masyarakat Naila Rizqi Zakiah berharap Presiden Jokowi menarik dan mengkaji ulang RUU HP karena sejumlah pasal dalam RUU tersebut merugikan perempuan, seperti pasal zina, larangan kontrasepsi, aborsi, dan tinggal bersama. Ia mencontohkan, Pasal zina yang akan memicu perkawinan anak, meningkatkan kematian ibu, dan pemiskinan perempuan.
“Muaranya RUU HP akan menghambat pencapaian pembangunan dan Tujuan Pembangunan Bersama (SDGs). Pak Jokowi puny wewenang untuk menarik dan mengkaji ulang RUU tersebut,” ujar Naila.
Terpisah, Minggu (22/4/2018) petang, Menteri PPPA Yohana Susana Yembise menyatakan pekan depan pihaknya akan menggelar diskusi publik terkait isu perkawinan anak yang akan dihadiri sejumlah kalangan, termasuk organisasi masyarakat, tokoh agama, pakar anak, akademisi, media, dunia usaha, dan kementerian/lembaga.
“Pertemuan ini sangat menentukan kesepakatan membuat perpu. Akan diawali dengan kajian dari berbagai unsur, yang akan dipakai sebagai kajian akademik,” ujar Yohana yang menyatakan siap memperjuangkan proses perppu tersebut.