Momentum Antisipasi Darurat Air Bersih di Indonesia
Oleh
DD05
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS --Ancaman krisis ketersediaan air bersih di berbagai daerah di Indonesia perlu diantisipasi. Saat ini, sebagian besar sungai di Indonesia sudah tercemar dan tidak layak dikonsumsi untuk air minum.
Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April jadi momentum mengedukasi masyarakat terkait darurat air bersih di Indonesia. Menurut Fresh Water Spesialist WWF Indonesia, Agus Haryanto, dalam acara Water Wise Festival, Minggu (22/4/2018), di Jakarta, 97 persen air di bumi adalah air laut, hanya 3 persennya adalah air tawar dan sebagian sudah tercemar sehingga tak layak untuk diminum.
Data World Water Development PBB menyebutkan, saat ini 1,9 miliar orang tinggal di daerah langka sumber air. Agus menjelaskan, WWF Indonesia mencatat, dari 5.590 sungai di Indonesia, 75 persennya tercemar dan tak layak dikonsumsi untuk air minum. Sedimentasi dan erosi juga jadi masalah serius.
Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, E. P. Fitratunnisa mengatakan, ada 13 sungai melintasi Provinisi Jakarta. Namun, saat ini 13 sungai tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi.
"Untuk kebutuhan air minum, warga Jakarta saat ini hanya bisa mengandalkan air pipa jaringan yang berasal dari Waduk Jatiluhur. Kondisi sungai dan air tanahnyansudah ridak layak untuk diminum," katanya.
Menurut Fitratunnisa, volume sampah Jakarta mencapai 7.000 ton tiap hari, dan 5 persennya berasal dari badan air. "Beberapa waktu lalu, ada penumpukan sampah di Muara Angke sekitar 220 ton. Sebenarnya, sampah-sampah ini bukan hanya berasal dari Jakarta," katanya.
Selain sampah rumah tangga, pencemaran di daerah aliran sungai (DAS) juga berasal dari industri pabrik, apartemen, dan perhotelan. Fitratunnisa mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengawasi pencemaran dari pabrik ini.
"Pabrik-pabrik ini harus mengolah lagi limbahnya. Ada sanksi administratif dari kami terhadap pabrik yang melanggar. Pertama-tama, akan kami lakukan teguran selama tiga kali. Jika masih melanggar, maka akan kami tutup saluran pembuangan airnya," ujarnya.
Pabrik-pabrik ini harus mengolah lagi limbahnya. Ada sanksi administratif dari kami terhadap pabrik yang melanggar.
Terkait sampah sejumlah daerah penyangga Jakarta, Fitratunissa berharap, seluruh pemangku kepentingan mampu duduk bersama untuk segera melakukan aksi menyelamatkan DAS ini. "Antara pemerintah pusat, kementerian, serta Pemprov Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta harus berdialog untuk menentukan solusinya," ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana merevisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang tata ruang untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tabgerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur). Salah satu yang menjadi fokus revisi ini adalah, ada sinergitas antar pemprov dan pemerintah pusat untuk mengatasi kerusakan sungai di wilayah ini.
Selain itu, dalam acara ini, ada stan untuk menguji kualitas air masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Salah satu relawan WWF Indonesia, Mecca, menjelaskan, sekitar 50 sampel sudah diuji dalam acara ini.
"Para pengunjung yang hadir tadi membawa sampel air yang ada di rumahnya, sebagian besar sampelnya adalah air tanah dari bekasi dan Jakarta," katanya.
Berdasarkan uji PH dan elektrolit itu, sebagian besar sampel yang dibawa pengunjung sudah tidak layak minum. Normalnya, air yang dapat diminun memiliki PH sekitar 6-8. "Namun, dari hasil uji kita, sebagian besar PHnya ada yang dibawah 6 dan diatas 8. Selain itu, air ini terpapar kandungan kimia seperti pestisida, merkuri, dan arsenik. Meski sudah dimasak, tetap tidak bisa lagi diminum. Hanya bisa untuk kebutuhan mandi dan mencuci," ujarnya.
Sedimentasi
Tim ahli Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau Darmadi, menjelaskan, di daerah Riau dan Sumatera Barat, sedimentasi sungai memicu banjir di sejumlah daerah. "Ada empat sungai yang melewati Riau, yaitu Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri. Sebagian besar hutan beralih fungsi menjadi perkebunan, sehingga berdampak pada sedimentasi di bagian hilir," ucapnya.
Sedimentasi ini juga berdampak pada PLTA Koto Panjang, Riau, sehingga debit air di PLTA ini menjadi tidak stabil. Selain masalah sedimentasi, masalah pencemaran limbah juga terjadi di beberapa sungai ini. "Di Sungai Siak, misalnya, limbah pabriknya tinggi, sedangkan di Sungai Indragiri, sungainya terpapar merkuri karena pertambangan emas liar. Namun, di beberapa bagian, ada air sungai layak minum, namun harus dimasak lebih dulu," ujarnya.
Darmadi mengatakan, saat ini Universitas Riau akan bekerja sama dengan WWF Indonesia untuk melakukan konservasi wilayah sungai ini pada 2018-2020. Targetnya, alih fungsi lahan pertanian bisa semakin ditekan dengan adanya program konservasi ini.
"Kami berencana mengundang pemerintah dan perusahaan agar makin peduli terhadap sungai ini. Saat ini, hanya masyarakat adat yang peduli dengan sungai di daerah Riau dan Sumatera Barat," ujarnya.
Menurut Darmadi, masyarakat adat masih memuliakan sungai untuk kebutuhan hidupnya. Mereka menjaga sungai dengan mitologi yang mereka anut serta kebijakan lokal untuk memberdayakan sungai. "Ada larangan adat untuk mengambil ikan di sungai pada waktu tertentu. Aturan adat ini untuk menjaga kelestarian habitat sungai dan perlu dicontoh masyarakat luas," ucapnya.