Empat bulan menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, belum tampak pergerakan yang signifikan untuk memunculkan kepastian formasi lengkap pasangan yang akan maju pada Pemilu Presiden 2019.
Joko Widodo belum memilih calon wakil yang akan mendampinginya. Prabowo Subianto juga belum pasti didukung oleh partai selain Gerindra. Sementara itu, pembentukan poros di luar Jokowi dan Prabowo juga belum menunjukkan tanda akan terwujud.
Bermain dengan waktu, tampaknya jadi strategi yang dilakukan saat ini, yang terutama dimainkan oleh tiga poros utama. Poros pertama adalah Jokowi dan koalisi partai pendukungnya, poros kedua adalah Prabowo dengan Partai Gerindra, dan poros ketiga adalah partai-partai yang ada di antara Jokowi dan Prabowo. Mereka adalah Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PKS yang sejauh ini belum mendeklarasikan dukungannya.
Jokowi tampaknya cenderung menunggu perkembangan pencalonan di kubu lawannya. Dengan potensi keterpilihan 55,9 persen, menurut hasil survei Litbang Kompas terbaru, posisinya sangat dominan sebagai penentu koalisi, termasuk arah pembentukan poros lawannya.
Dalam kecamuk politik yang jalan di tempat ini, Jokowi diuntungkan karena menjadi fokus dari perhatian publik dan partai politik. Akibatnya, tak heran jika popularitasnya untuk dipilih kembali sebagai presiden kian menanjak. Apabila kondisi gamang di poros lawan tetap berlangsung, Jokowi akan semakin leluasa memilih calon wakilnya.
Belum terbentuknya koalisi di poros lawan juga menguntungkan PDI-P sebagai partai utama di koalisi pendukung Jokowi. Popularitas partai ini kian tinggi setelah mendeklarasikan pencalonan Jokowi. Selain didukung strong voter, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini juga jadi ”pemondokan” sementara bagi sebagian pemilih ragu-ragu.
Cawapres
Hal yang berpotensi melemahkan Jokowi adalah figur calon wakil presiden (cawapres) pendampingnya. Kemunculan calon pendampingnya akan berdampak pada dua hal. Pertama, popularitas Jokowi sendiri. Jika memilih figur yang tepat, elektabilitasnya akan semakin naik atau minimal bertahan. Namun, jika memilih figur yang sebaliknya, bukan mustahil popularitasnya akan anjlok.
Kedua, menjatuhkan pilihan terhadap sosok yang ditunjuk jadi cawapres akan berimplikasi terhadap partai anggota koalisinya ataupun partai yang belum menentukan arah koalisinya. Jika cawapres yang ditunjuk ternyata menuai kontroversi di koalisinya, bukan tidak mungkin berakibat pada melemahnya koalisi. Beberapa partai di luar koalisi yang saat ini sudah mengajukan kadernya untuk dipinang sebagai prasyarat koalisi akan segera bergerak menentukan arah dukungannya atau membentuk poros baru.
Sejauh ini, Demokrat sudah memiliki kader potensial sebagai posisi tawar, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono. Partai Kebangkitan Bangsa menampilkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, dan Partai Keadilan Sejahtera mengajukan sembilan nama tokoh untuk dipasangkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Jokowi belum membuka siapa tokoh yang dipilih untuk mendampinginya meski beberapa kali ia menyatakan calon tersebut sudah ada di kantongnya. Ia cenderung mengambil langkah, laiknya diajarkan Dewa Perang Sun Tzu ataupun Antonio Gramsci, yaitu ”perang posisi”, menunggu munculnya komposisi pasangan pasti di pihak lawan. Setelah itu baru mengeluarkan nama tokoh dari kantongnya.
Survei Litbang Kompas terbaru pada 21 Maret-1 April 2018 ini merekam 1.200 pendapat responden nasional tentang elektabilitas capres, persoalan cawapres, dan pergerakan parpol jelang Pemilu 2019. Hasilnya dituangkan dalam tiga tulisan mulai hari ini di halaman 5.
Bambang Setiawan, Litbang Kompas