JAKARTA, KOMPAS – Rokok elektrik tidak direkomendasikan sebagai alat untuk berhenti merokok. Efek jangka panjang dari zat yang terdapat di dalamnya belum diketahui pasti. Nikotin dalam rokok elektrik juga bisa menyebabkan kecanduan.
Hal itu ditegaskan dokter spesialis paru yang mewakili Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Feni Fitriani Taufik dalam diskusi di Jakarta, Jumat (20/4/2018). Feni mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hanya merekomendasikan dua metode berhenti merokok dengan obat dan non-obat. Salah satu contoh metode non-obat misalnya konseling kelompok.
Tidak ada satu cara yang paling efektif untuk membantu seseorang berhenti merokok. Seseorang yang ingin berhenti merokok harus menempuh berbagai cara sekaligus. Semakin beragam metode yang dipakai maka tingkat keberhasilan berhenti merokok pun semakin tinggi. “Hal terpenting adalah motivasi,” ujarnya.
Feni juga mengimbau masyarakat untuk tidak terkecoh dengan klaim bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok konvensional karena tidak mengandung tar. Sekalipun rokok elektrik tidak mengandung tar perokok elektrik masih berisiko terkena Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan gangguan paru lain.
Tidak Ada Batas aman
Nikotin yang masih terkandung dalam rokok elektrik juga tetap berbahaya. “Tidak ada batas aman untuk nikotin. Penggunaan rokok elektrik bisa membuat kecanduan juga,” kata Feni.
Begitu terhirup nikotin akan masuk ke dalam darah hingga sampai ke otak. Di situ nikotin akan mengaktifkan hormon dopamin yang mengontrol pusat kesenangan dan kepuasan. Nikotin dalam rokok elektrik bisa menyebabkan kecanduan dan adiksi nikotin hampir sama dengan adiksi pada heroin.
Masyarakat harus menyadari, sekitar 4.000 zat yang terkandung dalam rokok konvensional, termasuk nikotin dan tar, berbahaya bagi tubuh. Banyak di antara zat-zat itu bersifat karsinogenik.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejauh ini belum merekomendasikan rokok elektrik sebagai salah satu metode berhenti merokok. Bukti-bukti pendukung yang menunjukkan rokok elektrik efektif untuk terapi berhenti merokok belum mencukupi.
Rongga mulut
Peneliti pada Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, menyampaikan, tahun 2017 YPKP meneliti kondisi rongga mulut perokok konvensional dan perokok elektrik. Hasilnya, sel-sel abnormal pada mukosa pipi bagian dalam perokok konvensional lebih banyak dibandingkan pada perokok elektrik.
Feni mengatakan, ketika seseorang merokok maka bagian tubuh yang terdampak tidak hanya rongga mulut. Seluruh organ pada sistem pernapasan akan terdampak. “Tidak bisa hanya melihatnya dari kondisi rongga mulut saja. Bagaimana dengan kondisi rambut getar (silia) pada rongga hidung atau bahkan kondisi paru-paru akibat rokok elektrik,” tuturnya.
Feni menegaskan, bagi yang belum pernah mengonsumsi rokok elektrik, terutama anak dan remaja, jangan pernah mencoba-coba sebab tetap akan memiliki risiko kecanduan dan gangguan kesehatan.
Rokok Harus Mahal
Menurut Ketua Harian Komite Nasional Pengendalian Tembakau Mia Hanafiah, rokok murah menjerat generasi muda menjadi pecandu rokok. Selain berdampak buruk bagi kesehatan, konsumsi rokok telah menimbulkan beban ekonomi keluarga hingga negara.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tentang Epidemi Tembakau Global Tahun 2017 menyebutkan, harga rokok di Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Di Indonesia, masih ada rokok seharga Rp 5.900 per bungkus.
Atas fakta itu, dalam memeringati Hari Kartini, sekelompok perempuan yang menamakan dirinya 1.000 Perempuan Dukung Gerakan #RokokHarusMahal mendorong pemerintah untuk menaikkan harga rokok setinggi-tingginya. Hal itu bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat, mengentaskan kemiskinan, dan memperbaiki status gizi anak Indonesia.