JAKARTA, KOMPAS – Pengolahan sampah menjadi energi listrik atau intermediate treatment facility/ITF di Sunter, Jakarta Utara, siap dilanjutkan tahun ini setelah pembangunannya tertunda dua tahun sejak peletakan batu pertama. Lampu hijau ini diperoleh seiring terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik itu merupakan revisi Perpres Nomor 18 Tahun 2016 yang dicabut Mahkamah Agung akhir 2016. Pencabutan dilakukan atas gugatan kelompok masyarakat yang menilai ada dampak lingkungan dari pengolahan sampah menjadi listrik itu.
Dalam Perpres baru, DKI Jakarta menjadi salah satu dari 12 daerah yang ditugaskan membangun pengolahan sampah menjadi listrik. Sebelumnya, PT Jakarta Propertindo sudah ditunjuk membangun bekerjasama dengan Fortum, perusahaan pengolahan sampah asal Finlandia.
“Groundbreaking diharap bisa tahun ini juga, lalu pembangunannya sekitar dua tahun,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji di Jakarta, Minggu (22/4).
Pembangunan ITF dinilai mendesak, karena volume sampah Jakarta akan terus bertambah, sedangkan kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang kian terbatas. Setiap hari, produksi sampah Jakarta sekitar 7.400 ton. Baru 400 ton dikelola lewat bank sampah maupun daur ulang.
Jumlah itu belum menghitung tumpukan sampah yang belum terangkut di tempat yang tak bisa diakses, seperti di kolong tol Tanjung Priok di Gang 23, Jalan Warakas 1, Jakarta Utara. Hari kelima pembersihan, sampah yang diangkut sejak sekitar 20 tahun itu 500 ton.
Kapasitas ITF
Instalasi ITF di Sunter direncanakan berkapasitas pengolahan sampah 2.000-2.200 ton per hari menghasilkan daya 35-40 megawatt per hari. Lahan yang tersedia 5,5 hektar.
Idealnya, kata Isnawa, Jakarta punya 4-5 ITF. Dengan demikian, pengolahan sampah tak tergantung TPA Bantargebang.
Selain di Sunter yang dikerjasamakan dengan sistem buy offer transfer (BOT) berjangka 25 tahun jadi milik pemerintah, 3-4 ITF dengan kapasitas 1.000-2.000 ton per hari direncanakan dikerjasamakan dengan swasta sistem buy offer owner (BOO).
Antusiasme perusahaan swasta untuk bidang ini pun cukup tinggi. Saat ini, 25 perusahaan mengajukan surat minat (LOI) ke Dinas Lingkungan Hidup. “Sebelumnya ada 200-an perusahaan, tapi mengerucut jadi 25 perusahaan ini,” kata Isnawa.
Direktur PT Jakarta Propertindo Satya Heraghandi mengatakan, groundbreaking siap dilakukan tahun ini. Biaya pembangunan menggunakan anggaran PT Jakarta Propertindo dengan sistem kerjasama tersebut. Dokumen pun sudah lengkap.
Peneliti di Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan, Perpres 35 Tahun 2018 ini lebih baik dari Perpres 18 Tahun 2016. Sebab, Perpres baru ini tidak lagi memberi kelonggaran pembangunan instalasi pengolahan sampah tanpa menyelesaikan analisisi dampak lingkungan.
“Di Perpres yang lama bisa mengesampingkan Amdal sembari membangun. Perpres ini sudah jauh lebih baik untuk sisi pra-operasi,” katanya.
Namun, secara operasional, pengawasan masih lemah. Sebab, pengawasan emisi instalasi cukup dilakukan lima tahun sekali. Padahal, instalasi pengolahan sampah menjadi listrik ini umumnya menghasilkan polutan udara berbahaya, yaitu dioksin, furan dan karbon dioksida.
Bestari Baru, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta yang membidangi lingkungan hidup mengatakan, lokasi pembangunan ITF perlu dipertimbangkan karena emisi yang dihasilkan bisa menjadi gangguan. Sebab, Sunter merupakan kawasan padat.
“Saya sudah pernah usul, ITF ini dibangun di lokasi yang jauh dari kawasan permukiman. Pulau reklamasi itu sangat tepat untuk jadi pusat pengolahan sampah,” katanya.
Namun, kata Bestari, pembangunan ITF tetap harus secepatnya dilakukan dengan meminimalisir dampak lingkungan. Sebab masalah sampah di DKI Jakarta sudah sangat mendesak. Selain itu, beban pembuangan sampah ke Bantargebang pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pun sangat tinggi. Tahun ini, DKI Jakarta menggelontorkan total sekitar Rp 300 miliar untuk biaya dan bantuan di TPA Bantargebang.