SURABAYA, KOMPAS - Dua organisasi masyarakat Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, perlu meningkatkan peran dalam menyebarkan ajaran Islam moderat kepada generasi milenial. Generasi yang lahir antara tahun 1981 dan 2000 dianggap memiliki pemikiran terbuka dan dinamis dalam menghadapi perubahan.
Oleh sebab itu, pertarungan menyebarkan ajaran Islam moderat sangat terbuka kepada generasi ini. Jangan sampai ajaran Islam radikal berkembang kepada generasi penerus bangsa ini.
Demikian hal yang mengemuka dalam Konferensi Tahunan untuk Para Sarjana Muslim bertajuk ”Memperkuat Visi Moderat Islam Indonesia” yang diselenggarakan Kopertais Wilayah IV Surabaya di Universitas Islam Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/4/2018).
Hadir sebagai pembicara, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama Prof Arskal Salim, Rektor UIN Sunan Ampel Prof Abd A’la, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Mahfud MD, dan dosen Fakultas Hukum Monash University, Australia, Nadirsyah Hosen.
Arskal menuturkan, pada masa kini, ajaran Islam moderat berpeluang berkembang. Sebab, kehadiran generasi milenial yang terbiasa dengan perubahan dan media sosial telah mengubah gerakan Islam radikal. Gerakan yang pada awalnya disebarkan melalui pertemuan, pengajian, dan literatur kini merambah ke dunia sosial.
”Generasi ini menjadi kurang ideologis karena orientasinya bukan buku, melainkan media sosial. Ini menjadi peluang bagi Islam moderat untuk bertarung menyebarkan ajaran Islam yang tidak ekstrem,” katanya.
Namun, pertarungan di media sosial bukan tidak mudah. Kelompok Islam radikal juga telah masuk ke media sosial untuk menyebarkan ajarannya. Oleh sebab itu, perlu ada kontra-wacana dan kontra-aksi untuk menyebarkan ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam kepada generasi penerus bangsa ini.
”NU dan Muhammadiyah perlu mengambil peran ini karena keduanya merupakan ormas Islam yang mewakili Islam moderat di Indonesia,” kata Arskal.
Peran perguruan tinggi
Dia berharap, dunia kampus juga mengambil peran menyebarkan ajaran Islam moderat. Ada 58 perguruan tinggi Islam negeri dan 763 perguruan tinggi Islam swasta di Indonesia yang perlu mengambil peran menyebarkan ajaran ini. Ia pun berharap agar jangan sampai sekolah justru disusupi penyebar ajaran Islam radikal.
”Jangan sampai membiarkan ada pihak yang menggerogoti tatanan sistem yang berlaku di Indonesia yang sudah sejak merdeka menganut negara Pancasila,” ucapnya.
Nadirsyah menuturkan, kelompok ormas Islam NU dan Muhammadiyah memang sudah masuk menyebarkan dakwah di media sosial. Namun, kualitasnya masih dirasa belum bisa menandingi gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal. Kelompok itu merencanakan dengan amat matang dengan membentuk tim khusus untuk membuat konten-konten yang menarik bagi anak muda.
”NU dan Muhammadiyah masih berada di zona nyaman. Mereka perlu mengambil peran berdakwah di wilayah-wilayah yang belum tersentuh agar tidak dimasuki ajaran Islam radikal,” katanya.
Menurut Nadirsyah, sebelum era Reformasi, anggota kelompok radikal masih sedikit. Namun, kini anggota kelompok tersebut telah berkembang karena proses dakwah yang masuk di area-area yang belum dimasuki oleh NU ataupun Muhammadiyah. Bahkan, mereka dijadikan alat politik untuk mendulang suara dalam pemilu.
Menurut Mahfud, perdebatan mengenai negara Islam sudah ada sejak zaman Kemerdekaan. Namun, saat itu, para pendiri Indonesia sepakat untuk memilih model prismatik dengan berada di tengah-tengah antara negara Islam dan sekuler. Jika ada yang ingin mengubah bentuk negara, harus dilakukan melalui pertarungan dalam pembuatan undang-undang.
”Aparat negara tidak bisa digunakan untuk menegakkan hukum yang dibangun atas dasar agama karena Indonesia bukanlah negara Islam dan hukum tersebut belum disahkan oleh negara,” katanya.