JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kembali menjadi kandidat presiden pada Pemilu 2019 dengan elektabilitas tertinggi. Namun, sejumlah kemungkinan masih terbuka meski kondisi ini menjadi tantangan besar bagi munculnya calon alternatif.
”Elite partai akan pragmatis dalam mempertimbangkan calon presiden. Jika ternyata tidak menjanjikan, sulit untuk bisa melihat muncul calon baru,” kata Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (22/4/2018).
Elite partai akan pragmatis dalam mempertimbangkan calon presiden. Jika ternyata tidak menjanjikan, sulit untuk bisa melihat muncul calon baru.
Pertanyaannya, ujar Adiyta, apakah ada partai yang mau mengambil pilihan tidak populer dengan memunculkan calon ketiga di tengah polarisasi dukungan terhadap Jokowi dan Prabowo? Selain itu, inisiatif munculnya calon ketiga juga hanya memungkinkan jika diinisiasi parpol yang punya cukup kursi di DPR untuk memenuhi ambang batas pencalonan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, melihat, dari sisi hitungan matematis masih ada peluang munculnya poros ketiga.
”Namun, itu hanya bisa terjadi jika elektabilitas Prabowo stagnan atau cenderung turun. Jika elektabilitasnya naik, calon alternatif akan berpikir ulang karena bakal menghadapi dua kandidat kuat sekaligus, Jokowi dan Prabowo,” katanya.
Terkait dengan potensi Partai Gerindra memberi ”tiket” untuk menjadi capres kepada sosok selain Prabowo, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, melihat, peluang itu ada, tetapi sangat kecil. Pasalnya, langkah itu akan berdampak negatif terhadap Partai Gerindra karena suara mereka bisa merosot pada Pemilu 2019, dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden berlangsung bersamaan.
”Majunya Prabowo berpotensi menaikkan elektabilitas Partai Gerindra. Selain itu juga karena tidak ada nama lain,” ujar Haris.
Belum aman
Kendati elektabilitasnya cenderung naik dan ada di atas Prabowo, menurut Haris, Jokowi belum benar-benar berada dalam zona aman.
Haris menuturkan, selalu ada potensi munculnya faktor X yang memengaruhi perolehan suara. Faktor itu bisa bermacam-macam, seperti mobilisasi masyarakat dengan basis isu suku, ras, agama, dan antargolongan.
Oleh karena itu, dia menilai, petahana perlu berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan publik yang bisa menggerus dukungan. Petahana juga mesti fokus menyelesaikan janji-janji politik di masa jabatannya.
Arya Fernandes menambahkan, ada potensi perolehan suara berbeda dari survei karena responden tidak jujur ketika survei dilakukan atau cenderung merahasiakan pilihannya.
”Aman tidak aman bagi petahana juga bergantung pada perubahan suara rivalnya. Kalau rival cenderung stagnan atau turun, elektabilitas petahana sekitar 60 persen sudah aman. Namun, jika terus naik, suara petahana juga bisa tersedot,” katanya.