JAKARTA, KOMPAS - Defisit anggaran, tunggakan iuran dan belum meratanya layanan masih jadi masalah dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Hal itu sulit diatasi jika hanya mengandalkan anggaran negara. Potensi dana masyarakat melalui filantropi atau kedermawanan bisa dimanfaatkan guna meningkatkan kesehatan masyarakat.
Gagasan pemanfaatan filantropi untuk pendanaan sektor kesehatan itu diungkapkan Dewan Pengarah Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro dalam diskusi di Yogyakarta, Senin (23/4/2018). Kompas mengikuti diskusi itu dari Jakarta melalui aplikasi Webinar.
Tahun lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola JKN-KIS masih mengalami defisit lebih dari Rp 9 triliun. Di sisi lain, sekitar 10 juta peserta dari 27 juta peserta JKN-KIS dari kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) atau pekerja mandiri menunggak membayar iuran.
Sementara pembangunan fasilitas kesehatan dengan sarana memadai di sejumlah daerah berkembang lambat. Selama lima tahun terakhir, pembangunan rumah sakit (RS) lebih banyak dilakukan perusahaan swasta, itupun umumnya ada di kota besar atau Jawa. Akibatnya, ketidakadilan pemanfaatan JKN-KIS terjadi, khususnya bagi masyarakat di daerah tertinggal.
Laksono menilai dana filantropi dari lembaga, badan usaha maupun perorangan bisa dimanfaatkan sebagai donasi bagi warga yang tidak mampu tapi tidak termasuk sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah pusat atau daerah.
Dana filantropi juga bisa untuk membantu biaya kesehatan lain yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, baik tindakan medis yang tidak dicakup, biaya transportasi pasien, akomodasi keluarga yang menunggu berobat, dan pembangunan RS di daerah terpencil. "Sumber dana filantropi ini bisa dari masyarakat, badan usaha, organisasi keagamaan atau kedaerahan," katanya.
Potensi dana
Potensi dana filantropi di Indonesia amat besar. Secara tradisional, semangat filantropi sudah ada dalam tradisi masyarakat, baik yang berbasis agama maupun budaya gotong royong, seperti zakat, infak, sedekah, atau sumbangan. Berbagai organisasi keagamaan pun sudah menghimpun dana masyarakat untuk membangun fasilitas pendidikan maupun kesehatan.
Karakter tradisi filantropi yang hidup di masyarakat adalah berasal dari sumber yang banyak namun nilai nominalnya kecil. Sedang jumlah sumbangan besar dari sedikit orang atau lembaga masih sedikit. "Tradisi filantropi belum banyak muncul dari kalangan orang kaya Indonesia," Ketua Program Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM Muhadjir Darwin.
Gerakan filantropi juga tumbuh di masyarakat, meski umumnya untuk sektor pendidikan. Filantropi di sektor kesehatan masih sangat jarang. Potensi dana filantropi pun sangat besar. Saat ini, belanja kesehatan Indonesia baru mencapai 3,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu tertinggal dibanding Filipina yang mencapai 4,4 persen PDB atau Thailand 4,6 persen PDB.
"Jika mengacu pada belanja kesehatan Thailand, dengan PDB Indonesia Rp 12.000 triliun saja (PDB Indonesia 2017 sudah mencapai Rp 13.500 triliun, maka ada dana Rp 180 triliun bisa dimanfaatkan," kata Laksono.
Meski demikian, lembaga pengelola filantropi yang terpercaya juga belum berkembang. Namun, bukan berarti negara bisa mengambil alih pengelolaan dana filantropi. "Berkaca pada pengelolaan dana zakat, pengelolaan dana filantropi sebaiknya tetap diserahkan kepada masyarakat," kata Muhadjir.
Berkaca pada pengelolaan dana zakat, pengelolaan dana filantropi sebaiknya tetap diserahkan kepada masyarakat.
Negara hanya perlu mendorong regulasi pendukung dan memberikan insentif bagi pelaku filantropi. Negara juga tidak bisa mewajibkan atau memaksakan filantropi karena filantropi bukan pajak dan bersifat kesukarelaan.
Pemanfaatan dana filantropi itu akan membantu pemerintah meningkatkan layanan publik khususnya sektor kesehatan. Terlebih, pendapatan negara dari pajak masih terbatas dan sulit mengandalkan hutang luar negeri untuk pembangunan fasilitas kesehatan. Meningkatkan iuran JKN-KIS juga bukan pilihan karena pasti akan ditentang kalangan usaha dan masyarakat.