JAKARTA, KOMPAS - Mantan Ketua DPR Setya Novanto akan menghadapi pembacaan putusan terkait perkara korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik, Selasa (24/4/2018), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Majelis hakim yang memeriksa perkara itu diharapkan menjatuhkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan dalam perkara yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini.
Bagian Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, di Jakarta, mengonfirmasi pembacaan putusan Novanto ini. Susunan majelis hakim perkara ini terdiri dari Ketua Majelis Hakim Yanto dengan anggota Franky Tumbuwun, Anwar, Anshori Saifuddin, dan Emilia Djajasubagja.
Pada 29 Maret lalu, Novanto dituntut oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pidana 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 7,435 juta dollar Amerika Serikat dikurangi uang yang telah dikembalikannya dan pencabutan hak politik selama 5 tahun seusai menjalani masa hukuman.
Dari dua dakwaan yang dituangkan secara alternatif, jaksa menilai perbuatan Novanto melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Gedung KPK Jakarta, menyatakan siap menghadapi sidang putusan yang akan digelar. Kendati demikian, Saut berharap putusan yang akan diambil majelis hakim tersebut berpihak pada keadilan yang diharapkan publik.
Dalam perjalanan perkara ini, tiga terdakwa telah dijatuhi pidana. Mereka antara lain Irman dan Sugiharto yang hukumannya diperberat dari 7 tahun dan 5 tahun penjara menjadi 15 tahun penjara pada proses kasasi. Sementara Andi Agustinus juga ditambah hukumannya menjadi 10 tahun penjara dari 8 tahun penjara di tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan, status justice collaborator (pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatannya) ketiganya yang semula dikabulkan Pengadilan Tipikor Jakarta juga dipersoalkan.
Sebelumnya, Novanto mengajukan diri sebagai justice collaborator kepada KPK, tetapi ditolak. Ia dinilai tidak kooperatif sejak awal penanganan perkara, baik di tingkat penyidikan maupun persidangan. Salah satunya terkait dengan peristiwa kecelakaan pada 16 November 2017 yang kini disidangkan dengan terdakwa Bimanesh Sutarjo dan Fredrich Yunadi. Bimanesh dan Fredrick didakwa dalam perkara dugaan merintangi penyidikan.
Sidang Bimanesh
Dokter jantung dari Rumah Sakit Premier Jatinegara, Glen S Dunda, yang menangani kateterisasi jantung Setya Novanto menyatakan tidak pernah merujuk pasiennya tersebut ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Bahkan, dirinya tidak pernah memberikan berkas berupa rekam medis milik Novanto kepada kuasa hukum Novanto saat itu, Fredrich Yunadi.
Hal ini disampaikan Glen saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin kemarin. Glen dihadirkan jaksa untuk terdakwa perkara merintangi penanganan perkara, yaitu Bimanesh Sutarjo. Menurut Glen, kondisi Novanto pun terbilang stabil seusai perawatan di RS Premier Jatinegara, September-Oktober 2017.
”Setelah dari Premier, apa ada rujukan ke Medika?” tanya jaksa Takdir Suhan. ”Tidak ada. Karena kelasnya Premier lebih tinggi daripada Medika. Dasar rujukan itu fasilitas dan tenaga dokter yang lebih lengkap. Kecuali ada permintaan pasien. Itu bisa saja,” kata Glen.
Akan tetapi, selama menangani Novanto tersebut tidak ada keluhan hingga permintaan pindah rawat. Pada persidangan dengan terdakwa dalam perkara yang sama, yaitu Fredrich Yunadi pada Kamis (19/4), Bimanesh mengungkapkan Yunadi menghubunginya dan memintanya untuk merawat Novanto karena keluhan hipertensi dan vertigo.
Padahal, menurut Glen, perawatan di Premier saat itu tidak sebatas kateterisasi. Ada tim untuk menangani keluhan penyakit lain dari Novanto sesuai dengan rujukan dari Rumah Sakit Siloam.