Posisi calon wakil presiden tidak hanya berperan penting dalam pemenangan pada Pemilihan Presiden 2019. Namun, juga menentukan soliditas koalisi partai politik pengusung capres-cawapres
JAKARTA, KOMPAS - Di tengah menguatnya polarisasi dukungan pada dua sosok yang diprediksi akan berkontestasi sebagai calon presiden pada Pemilu 2019, yakni Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, posisi calon wakil presiden jadi rebutan sejumlah tokoh dan partai politik. Selain ikut menentukan perolehan suara, sosok calon wakil presiden juga menentukan soliditas koalisi parpol pengusung pada pemilu mendatang.
Bagi Jokowi, yang berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, pada saat ini punya elektabilitas 55,9 persen, posisi calon wakil presiden (cawapres) tetap penting sebagai penentu kemenangan. Pasalnya, sebanyak sepertiga dari pendukung Jokowi masuk kategori kurang loyal hingga ada potensi berubah pilihan politik
Sementara bagi penantang Jokowi, posisi cawapres berperan penting untuk membantu menaikkan suara.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan M.Romahurmuziy menuturkan, pertimbangan rasional akhirnya akan dikedepankan dalam memilih cawapres.
“Semua partai anggota koalisi bisa saja memasang target idealnya. Namun pada akhirnya harus berkompromi pada kenyataan,” katanya , Senin (23/4/2018).
Saat ini, sejumlah parpol telah menyatakan posisi capres atau cawapres sebagai syarat koalisi di Pemilu 2019. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, menyatakan siap berkoalisi dengan Partai Gerindra jika ada kadernya yang jadi capres atau cawapres.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar telah menegaskan, Pemilu mendatang, PKB akan mengusung pasangan Jokowi-Muhaimin (Join).
Sejumlah kader Partai Golkar mengusulkan agar Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, menjadi cawapres untuk Jokowi.
Tiga besar
Hasil survei Litbang Kompas, tiga besar nama cawapres pilihan responden untuk Jokowi adalah Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo. Sedangkan tiga besar nama cawapres untuk Prabowo, adalah Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Wiranto.
Hasil survei Litbang Kompas, tiga besar nama cawapres pilihan responden untuk Jokowi adalah Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo. Sedangkan tiga besar nama cawapres untuk Prabowo, adalah Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Wiranto
Dari deretan sosok itu, nama Gatot muncul untuk sosok Jokowi dan Prabowo.
Terkait hal itu, dalam acara satu meja yang digelar semalam di Kompas TV, Gatot menegaskan, jika rakyat memanggil, dia siap. Saat diminta memilih capres atau cawapres, ia memilih capres.
Untuk nama lain, sampai saat ini belum ada kepastian. Jusuf Kalla misalnya, masih diperdebatkan apakah bisa kembali menjadi cawapres. Ini karena dia sudah dua kali menjabat wakil presiden. Prabowo disebut menjadi capres dari Partai Gerindra. Sementara Anies Baswedan, sampai saat ini belum memberi pernyataan yang tegas untuk maju di Pemilihan Presiden 2019.
Sementara Wiranto menyatakan, akan fokus menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan keamanan.
Komandan Komando Tugas Bersama Pemenangan Pemilu Tahun 2019 Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, sebagian masyarakat menginginkan dirinya menjadi peserta alternatif pada Pemilu 2019. Namun, ia masih menolak untuk bicara pilpres.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menuturkan, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mengisi kursi cawapres. Pertama, bisa merepresentasikan kelompok masyarakat yang belum direpresentasikan dalam sosok calon presiden. Kedua, sosok cawapres itu bisa meyakinkan publik bahwa mereka bisa menopang performa calon presiden.
“Ketiga, ia harus sosok yang bisa mempersatukan pihak-pihak yang mendukung. Sosok itu harus bisa diterima koalisi parpol, sebab kalau tidak akan menimbulkan kontradiksi di internal koalisi dan bisa menghambat mesin pemenangan,” katanya.
Pengajar politik Universitas Paramadina Jakarta Toto Sugiarto menuturkan, Prabowo idealnya menggandeng tokoh dengan latar belakang sipil. Sedangkan Jokowi bisa mengambil calon wakil presiden sipil maupun militer. Kedua sosok itu sama-sama menghadapi risiko munculnya kekecewaan parpol pendukung jika memilih tokoh dari salah satu parpol, kecuali jika sosok itu hasil kesepakatan bersama.
“Kalau mau menghilangkan risiko, bisa memilih sosok dari luar parpol. Namun, sosok itu mesti punya elektabilitas tinggi, basis massa jelas, serta rekam jejak yang terbukti sudah berdampak bagi masyarakat banyak,” kata Toto.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, mengatakan, elektoral menjadi salah satu aspek terpenting cawapres pendamping Prabowo. Seorang cawapres harus mampu menaikkan elektabilitas Prabowo sebagai capres. Kendati demikian, ia meyakini, elektabilitas Prabowo akan semakin meningkat menjelang detik-detik akhir kontestasi pilpres.
“Waktu 2014 saja, dalam waktu satu bulan, kita berhasil menaikkan selisih elektabilitas itu sampai 20 persen lebih,” kata Fadli. (GAL/NDY/NTA/BAY/SAN/AGE)