Polres Bogor Buka Kemungkinan Gunakan Pasal Pembunuhan
Oleh
Ratih Prahesti Sudarsono
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kepolisian Resor Bogor memastikan serius menangani kasus tewasnya pelajar dalam tawuran atau kekerasan sesama pelajar. Selain mengenakan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, polisi membuka kemungkinan menjerat pelakunya menggunakan pasal pembunuhan berencana seperti diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hal itu ditegaskan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Ajun Komisaris Bimantoro Kurniawan saat menerima perwakilan para advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Daffa Indonesia, Rabu (25/4/2018). Mereka mendatangi kantor polres sebagai kuasa hukum keluarga Muhammad Ridwan Ogi Alamsyah (17) dan Fikri Fahrian Nazib (17).
Ridwan dan Fikri adalah korban kekerasan sesama pelajar SMA/SMK yang terjadi di Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/4). Kekerasan itu mengakibatkan Ridwan meninggal, sedangkan Fikri hingga kini masih dirawat di rumah sakit. Satu dari lima pelajar pelaku, ST (17), ditangkap polisi, Kamis (19/4).
Sylvia Hasanah Thorik dari Daffa Indonesia meminta Bimantoro mengubah LP (laporan polisi) kasus kliennya dari pasal percobaan perampasan telepon seluler menjadi pasal pembunuhan berencana atau pasal pembunuhan. Ia menunjukkan LP yang dimaksud.
”Orangtua para korban, yang menunjuk kami sebagai kuasa hukumnya, resah. Sebab, ini bukan kasus perampasan HP. Korban dikeroyok para pelaku hingga keduanya mengalami luka berat akibat senjata tajam dan akhirnya satu orang meninggal. Saksi peristiwa itu ada. Ini kasus pembunuhan atau pembunuhan berencana,” kata Sylvia.
Bimantoro menjawab, pihaknya berterima kasih karena kerja kepolisian diperhatikan dan diawasi. Ia juga menerima masukan-masukan itu meskipun ditegaskan bahwa penyidik yang menangani kasusnyalah yang berwewenang menentukan pasal-pasal pidana yang diduga dilakukan tersangka.
”Sangkaan terhadap tersangka pada LP bisa apa saja. Sebab, baru laporan awal, belum dilakukan penyelidikan. Setelah dilakukan penyidikan dan gelar perkaranya akan jelas, sangkaan atau pasal apa yang sesungguhnya dilanggar pelaku. Jadi, pasal sangkaan di LP bisa berubah atau bertambah sesuai hasil penyidikan dan alat bukti pendukungnya,” tutur Bimantoro.
Ia menambahkan, untuk kasus dengan korban Ridwan dan Fikri, pelakunya diduga lima orang dan satu pelaku tertangkap, yakni ST. Empat lainnya dalam proses pencarian. Polisi sudah mendatangi rumah mereka dan meminta orangtua dan keluarga para tersangka untuk baik-baik menyerahkan anak mereka kepada polisi.
Dari gelar perkaranya, kata Bimantoro, ST dipastikan pelaku utama karena dia yang pertama menghadang, berkelahi, dan menganiaya korban.
Sylvia dan para koleganya juga meminta agar penanganan kasus tersebut diambil alih Polres dari Polsek Kemang. Alasannya, kasus ini sudah membuat marah para pelajar dan warga di Kemang terhadap SMK para pelaku. Pemicunya, pengeroyokan siswa SMK tersebut kepada pelajar SMK atau SMA lainnya di Kemang sudah beberapa kali terjadi.
”Ikatan siswa Kemang dan warga mendatangi SMK itu. Mereka demo menuntut SMK itu dibubarkan. Melihat demo kemarahan mereka, kami khawatir kalau kasusnya masih ditangani polsek, demo kemarin itu sampai malam,” kata Sylvia.
Menurut Sylvia, Daffa Indonesia akan menemui pihak SMK itu lagi. Setelah itu, mereka akan menghadap Bupati Bogor dan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor dengan tuntutan agar SMK tersebut ditutup. Waktu pihaknya mengunjungi SMK itu, kepala sekolahnya tidak ada karena sakit.
”Pengamatan kami, jadwal proses belajar-mengajar di situ tidak jelas. Sekolah itu harus ikut bertanggung jawab. Kami ingin polisi juga menyelidiki dan menyidik sekolah tersebut,” kata Sylvia.
Bimantoro mengatakan, polisi tidak dapat menyentuh sekolah dan pengajarnya karena wewenang pembinaan dan pemberian sanksi pada sekolah dan tenaga pendidik dan pengajarnya ada di pemerintah daerah dan dinas terkait. ”Yang kami tangani jika terjadi kriminalitas, semisal tawuran pelajar,” katanya.
Ia memastikan, jika terjadi kejahatan dengan pelakunya pelajar tetap akan diproses hukum sebagaimana ketentuan penanganan kasus hukum terhadap anak. ”Arahan pimpinan kami jelas, pelajar yang melakukan kekerasan dan kedapatan membawa senjata tajam akan diproses hukum. Ini diharapkan dapat membuat jera,” kata Bimantoro.