JAKARTA, KOMPAS - Lemahnya pelembagaan dan ideologi partai politik membuat sosok punya peran besar dalam membentuk citra dan elektabilitas partai politik. Dampak selanjutnya dari kondisi ini adalah parpol berpotensi dipersepsikan sebagai instrumen atau kepanjangan tangan dari sosok/elitenya.
Tingginya peran sosok dalam membangun elektabilitas parpol terekam dalam survei periodik Litbang Kompas. Dalam survei terakhir yang dilakukan 21 Maret-1 April 2018, PDI-P dan Partai Gerindra jadi parpol dengan elektabilitas tertinggi, masingmasing dengan 33,3 persen dan 10,9 persen. Capaian ini ditengarai tidak lepas dari sosok Presiden Joko Widodo di PDI-P dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di partainya.
Pasalnya, dari survei periodik yang dilakukan Kompas terlihat bahwa elektabilitas PDI-P cenderung berjalan seiring dengan elektabilitas Jokowi yang saat ini punya elektabilitas 55,9 persen. Hal serupa terjadi di Partai Gerindra dengan Prabowo.
Ketua DPP PDI-P Hendrawan Supratikno, Selasa (24/4/2018), di Jakarta, meyakini elektabilitas Jokowi akan terus berpengaruh ke PDI-P hingga pemilu mendatang.
”Mengusung capres yang diterima sebagian besar rakyat itu penting untuk parpol. Selain agar program capres bisa disinergikan dengan program partai, tentunya dampak efek ekor jas (pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai),” katanya.
Mengusung capres yang diterima sebagian besar rakyat itu penting untuk parpol. Selain agar program capres bisa disinergikan dengan program partai, tentunya dampak efek ekor jas (pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai)
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengakui, partainya masih bergantung pada figur Prabowo. Secara internal, Prabowo menjadi pemersatu dan perekat partai. Sementara secara eksternal, berdasarkan hasil survei internal Gerindra, masyarakat masih memandang kuat figur Prabowo.
”Gerindra itu Prabowo dan Prabowo itu Gerindra. Selain itu, memang ini maunya rakyat. Kita tidak bisa menyalahkan keinginan rakyat,” kata Dasco.
Gerindra pun membutuhkan figur Prabowo untuk maju sebagai calon presiden di Pemilu 2019 guna memberikan dampak elektoral bagi partai pada pemilu legislatif.
Gerindra itu Prabowo dan Prabowo itu Gerindra. Selain itu, memang ini maunya rakyat. Kita tidak bisa menyalahkan keinginan rakyat
Dasco mengatakan, saat ini ada sejumlah elite di Gerindra yang dipersiapkan untuk menggantikan Prabowo di kemudian hari. Namun, saat ini ketokohan mereka belum terbangun kuat.
”Jadi, bukan berarti kaderisasi tidak dilakukan. Kami tidak membatasi, tetapi semua ini kembali pada seleksi alam, mana yang menonjol. Suatu hari, pasti akan ada figur pengganti Pak Prabowo. Namun, untuk sekarang ini, orangnya masih Prabowo,” ujar Dasco.
Ketergantungan partai terhadap figur yang kuat membuat wacana pembentukan poros ketiga di luar Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019 sampai sekarang masih mengambang. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan mengatakan, poros ketiga bukan hanya membutuhkan dukungan politik partai sebagai syarat minimum berkoalisi, melainkan juga ketokohan figur.
”Bicara poros ketiga, kita selalu pertanyakan, memangnya mau siapa capres dan cawapresnya?” tanya Daniel.
Saat ini, ujarnya, PKB masih menonjolkan figur Ketua Umum Muhaimin Iskandar di pilpres. Namun, untuk mendapatkan efek elektoral bagi partai, Muhaimin harus dipasangkan dengan sosok yang punya ketokohan kuat, seperti Jokowi.
Pemikiran itu, lanjut Daniel, yang membuat PKB ingin memasangkan Muhaimin dengan Jokowi. Pasalnya, Jokowi punya ketokohan kuat sebagai capres.
Elitis
Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Panji Anugrah, mengatakan, masih sangat tingginya pengaruh sosok terhadap elektabilitas parpol tidak terlepas dari lemahnya kelembagaan dan ideologi parpol.
”Parpol belum terlembaga dengan baik,” katanya.
Idealnya, kata dia, parpol dipilih karena platform ideologi. Di negara-negara demokrasi modern, seperti Jerman atau negara-negara Skandinavia, parpol punya platform ideologi dan tawaran kebijakan yang koheren. Dengan begitu, saat pemilih memilih parpol tertentu, mereka sudah punya gambaran model kebijakan apa yang akan dihasilkan oleh pemerintahan yang nanti terbentuk. Misalnya, warga yang memilih partai berbasis ideologi sosial demokrat sudah tahu pilihan itu berarti kebijakan pajak tinggi.
Implikasi dari kuatnya faktor figur ketimbang ideologi parpol juga membuat elektabilitas parpol bisa dengan mudah bergeser, bergantung pada elite. Hal ini bisa menghasilkan pembusukan partai karena kemudian pengurus akan lebih mengutamakan sosok yang populer ketimbang sosok yang memahami nilai dan ideologi partai.
Implikasi dari kuatnya faktor figur ketimbang ideologi parpol juga membuat elektabilitas parpol bisa dengan mudah bergeser, bergantung pada elite
Ketua Departemen Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Kris Nugroho, secara terpisah, menilai bahwa ketergantungan partai pada figur disebabkan partai dikelola sebagai organisasi yang elitis. Partai cenderung tidak punya program kaderisasi yang mengakar ke bawah. Ini yang membuat partai seolah menjadi organisasi yang hanya menampung figur publik yang bisa dijual ke masyarakat. Oleh karena itu, Kris mendorong parpol membangun kaderisasi yang kuat.
”Kuncinya bagaimana partai sekarang menata organisasi hingga ke tingkat basis pemilih paling rendah di desa-desa. Partai perlu kader-kader yang ada di garis terdepan menjembatani pemilih dengan partai,” ujarnya.