Agama Jadi Pertimbangan Utama
Secara medis, manfaat sunat perempuan belum ditemukan. Bahkan, sebagian kalangan justru menyebut tindakan itu memang tidak ada manfaatnya serta merugikan dan membahayakan perempuan. Nyatanya, minat masyarakat melakukan sunat perempuan tak pernah berkurang. Bahkan, layanan sunat perempuan pun makin berkembang.
Perintah agama menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk menyunat anak-anak perempuan mereka. Di Indonesia, waktu pelaksanaan sunat perempuan beragam, mulai langsung dilakukan setelah bayi lahir atau saat menjelang mereka akil balig yang ditandai oleh haid pertama atau antara umur 7-10 tahun.
”Belum banyak riset yang meneliti soal manfaat sunat perempuan. Karenanya, keuntungan sunat perempuan tersebut umumnya juga dilihat dari perspektif agama,” kata dokter spesialis kebidadan dan kandungan di Rumah Sakit Permata Cibubur, Valleria, dalam diskusi Sunat Perempuan dari Tinjauan Medis, Hukum dan Syariat di Jakarta, Rabu (25/4/2018).
Sunat perempuan dilakukan dengan berbagai cara. Di Indonesia, sunat perempuan dilakukan mulai dengan cara menggores, memotong, mengerik, menusuk, mencubit, atau menindik klitoris, bagian kemaluan perempuan yang memiliki fungsi seksual, mirip seperti penis pada laki-laki.
Menurut Valleria, jika dilakukan sesuai aturan agama, sunat perempuan yang dilakukan dengan menggores atau membuka tudung klitoris diyakini akan membuat klitoris lebih mudah dibersihkan dari kotoran dan najis. Kondisi itu sangat penting untuk mendukung ibadah. Selain itu, sesuai dengan teks agama, sunat perempuan juga diyakini bisa menstabilkan dorongan seksual dan membantu memuaskan pasangan.
Sunat perempuan umum dilakukan di sejumlah negara berpenduduk Muslim dan sejumlah negara-negara Afrika. Namun, selama beberapa dekade terakhir, muncul gerakan penolakan dari kelompok perempuan, hak asasi manusia, hingga sebagian kelompok agama dan medis tentang tindakan tersebut.
Selain dianggap tidak ada manfaatnya, sunat perempuan juga dinilai bukan sebagai kewajiban agama. Tindakan itu dianggap hanya semakin mendiskriminasi perempuan, menghalangi hak seksualitas perempuan, hingga bisa membahayakan perempuan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun sudah dengan tegas melarang segala bentuk mutilasi genital perempuan atau female genital mutilation (FGM). FGM adalah seluruh prosedur untuk menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genital eksternal perempuan atau melukai organ kemaluan perempuan secara sengaja untuk alasan nonmedis.
Pertentangan
Namun, definisi tentang FGM dan sunat perempuan dinilai kalangan agamawan dan sebagian kalangan medis Indonesia sebagai tindakan yang berbeda. FGM sering dimaknai sebagai pemotongan atau mutilasi seluruh klitoris. Tindakan itu dianggap membahayakan perempuan.
Kondisi itulah yang dinilai Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta Fuad Thohari memunculkan gerakan pelarangan sunat perempuan. Bahkan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) pada 20 April 2006 mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK 00.07.1.31047 yang melarang petugas kesehatan melayani sunat perempuan.
Perdebatan itu menimbulkan banyak kebingungan umat. Karena itu, MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 tentang Larangan Khitan Perempuan. Fatwa itu menegaskan bahwa sunat perempuan (khifadh) cukup dilakukan dengan hanya menghilangkan selaput (prapaeputium) yang menutupi klitoris. Sunat perempuan tidak boleh dilakukan dengan memotong atau melukai klitoris yang bisa merugikan dan membahayakan perempuan. Tindakannya pun harus dilakukan oleh tenaga medis profesional.
”Fatwa ini bisa jadi jalan tengah atas penolakan bagi mereka yang menolak ataupun mendukung sunat perempuan,” katanya. Fatwa itu juga diharapkan jadi rujukan pemerintah dalam memberikan layanan sunat perempuan.
Dengan fatwa itu, Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 tentang Sunat Perempuan. Aturan itu mengatur tentang tata cara sunat perempuan yang dibolehkan di Indonesia dan bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik dokter, bidan atau perawat.
Namun, keluarnya aturan itu bukan berarti persoalan sunat perempuan di Indonesia selesai. Protes dari berbagai kalangan membuat pemerintah mencabut aturan soal sunat perempuan itu melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Permenkes Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 tentang Sunat Perempuan.
Selanjutnya, pemerintah menyerahkan persoalan sunat perempuan kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k guna menerbitkan pedoman sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan serta tidak memutilasi alat kelamin perempuan.
Pemerintah pun berusaha membangun kepercayaan internasional bahwa sunat perempuan di Indonesia berbeda dengan FGM. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) Yohana Yembise dalam Zero Tolerance Day to FGM di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 8 Februari 2016 berusaha meyakinan dunia internasional bahwa prosedur sunat perempuan di Indonesia tidaklah sama dengan persepsi dunia alias berbeda dengan FGM.
”Indonesia juga berkeberatan dengan praktik-praktik sunat yang berlebihan,” ujat Yohana seperti dikutip dari siaran pers Kementerian PP-PA.
Minat tinggi
Meski pertentangan tentang sunat perempuan itu belum selesai, nyatanya minat masyarakat untuk melakukan sunat perempuan tetap ada. Praktik ini masih mudah ditemukan di daerah-daerah. Banyak orangtua menyunat anak perempuannya setelah lahir dengan bantuan tenaga kesehatan yang membantu persalinan.
Minat sunat perempuan itu nyatanya juga muncul pada masyarakat perkotaan dari kelompok menengah. Valleria mengakui banyak pasien yang menanyakan kepadanya soal sunat perempuan atau meminta untuk dilakukan sunat perempuan.
Bahkan, sejak 2017 Rumah Sunat dr Mahdian yang dulu dikenal dengan nama Rumah Sunatan mengampanyekan program sunat perempuan. Ternyata, minat masyarakat mengikuti program itu juga cukup tinggi.
”Sebulan ada 20-30 sunat perempuan yang kami layani,” kata Direktur Operasional Rumah Sunat dr Mahdian Achmad Syarif Kurniawan. Anak yang disunat umumnya berumur kurang dari 5 tahun dan sudah dilakukan di 10 klinik dari 43 klinik Rumah Sunat yang umumnya ada di wilayah Jabodetabek.
Kini, pilihan kembali ke masyarakat. Namun, negara perlu memastikan bahwa masyarakat terlindungi dari praktik-praktik budaya yang tidak adil ataupun praktik medis yang tidak aman.