JAKARTA, KOMPAS — Indonesia saat ini memenuhi empat indikator yang pernah dimiliki China pada tahun 2008 lalu sehingga menjadi negara yang layak investasi bagi pemodal ventura. Keempat indikator itu dilihat dari jumlah penetrasi internet, penggunaan gawai, pendapatan domestik bruto, dan transaksi e-dagang.
Founding Partner Kejora Ventures, Sebastian Togelang, dalam Global Ventures Summit 2018 di Jakarta, Kamis (26/4/2018), mengatakan, kondisi ekonomi digital China sekarang berkembang pesat karena investasi besar-besaran yang dilakukan.
Jumlah perusahaan rintisan di China kini mencapai sekitar 4.000 perusahaan. Bahkan, China memiliki 8 perusahaan rintisan kategori unicorn dengan nilai valuasi sebesar 96,4 miliar dollar AS.
Nilai itu jauh lebih besar daripada valuasi perusahaan Amerika Serikat dan negara lainnya, yaitu 19 perusahaan dengan 42,5 miliar dollar AS. Ekonomi digital Indonesia dinilai dapat berkembang pesat karena iklim investasi saat ini mirip dengan China sebelumnya.
CB Insights menyebutkan, penetrasi internet menjangkau sekitar setengah jumlah penduduk dan lebih dari 70 persen mengakses internet melalui ponsel pintar. Selain itu, jumlah transaksi e-dagang sebesar 1,4 persen dari penjualan ritel tahun 2015. Adapun produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai 3.834 dollar AS tahun 2015.
Penetrasi internet menjangkau sekitar setengah jumlah penduduk dan lebih dari 70 persen mengakses internet melalui ponsel pintar.
Sebastian mengatakan, potensi e-dagang untuk berkembang masih sangat besar akibat infrastruktur dan sistem logistik yang masih buruk.
”Indonesia mulai dengan perusahaan rintisan dengan target pasar general. Sekarang perusahaan rintisan yang muncul lebih kepada niche market,” kata Sebastian. Niche market adalah pasar yang fokus pada layanan tertentu.
Ia mencontohkan, sistem logistik dan layanan bank tidak bisa mengikuti perkembangan e-dagang. Banyak perusahaan rintisan, misalnya teknologi finansial (tekfin), muncul untuk mengatasi hal itu.
Co-Founder and Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe menambahkan, investasi di Asia saat ini cenderung melambat. ”Kondisi itu terjadi akibat beberapa perusahaan rintisan di India bermasalah. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi global,” ujarnya.
Untuk Indonesia, data dari CB Insights menunjukkan, terjadi penurunan jumlah investasi menjadi 65 kesepakatan tahun 2017 dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 78 kesepakatan. Namun, nilai investasi meningkat menjadi 2.032 juta dollar AS tahun 2017 dari 961 juta dollar AS tahun 2016. Kenaikan itu terjadi karena perusahaan besar, seperti Tencent dan Alibaba dari China, tertarik berinvestasi.
Jefrey melanjutkan, Indonesia berpotensi besar sebagai lahan investasi perusahaan pemodal sebab jumlah transaksi e-dagang dan jumlah populasinya yang besar. Indonesia merupakan negara dengan populasi keempat terbesar di dunia.
Managing Partner Parkpine Capital Ahmed Shabana menyatakan, dilihat secara umum, Pemerintah Indonesia menyediakan iklim bisnis yang baik bagi perusahaan rintisan. ”Keberadaan lembaga seperti Badan Ekonomi Kreatif membawa inovasi,” ujarnya.
Keberadaan lembaga seperti Badan Ekonomi Kreatif membawa inovasi.
Adapun Pemerintah Indonesia menargetkan untuk memiliki 1.000 perusahaan rintisan digital pada 2020. Target itu merupakan bagian dari program Indonesia menjadi pemimpin ekonomi digital Asia Tenggara dan energi digital Asia pada tahun 2020.
Kualitas pekerja
Jefrey menekankan, salah satu aspek utama yang menjadi bahan pertimbangan investor untuk berinvestasi di perusahaan rintisan adalah kualitas pekerja yang dimiliki. ”Kemampuan perusahaan rintisan untuk menjadi unicorn bergantung pada kemampuan perusahaan menarik orang yang berbakat,” katanya.
Perusahaan rintisan setidaknya harus memiliki wawasan mengenai pasar lokal, seperti jenis produk dan metode pemasaran yang dilakukan. Perusahaan juga dituntut mengetahui keadaan pasar global, seperti jenis perusahaan saingan yang ada.
Robihamanto (22), software engineer dari perusahaan rintisan Sehati, menyatakan, kompetensi yang diberikan pendidikan formal masih belum memenuhi permintaan industri saat ini. Ia mencontohkan, permasalahan yang dihadapi profesinya adalah kurikulum di bangku kuliahnya tidak memberikan pendalaman materi terkait coding.
Robi merupakan alumnus sebuah universitas ternama di Malang, Jawa Timur. Ia kuliah di fakultas ilmu komputer jurusan teknik informatika.
Coding membutuhkan passion. Dalam membuat aplikasi, saya belajar sendiri.
”Coding membutuhkan passion. Dalam membuat aplikasi, saya belajar sendiri,” ujar Robihamanto. Namun, ia mengakui, pendidikan formal tetap dibutuhkan untuk mengembangkan nalar berpikir.