Pemilu yang Sehat Butuh Lawan Seimbang
JAKARTA, KOMPAS — Mempersiapkan lawan tanding yang dapat menyaingi Presiden Joko Widodo pada kontestasi Pemilu 2019 menjadi pekerjaan rumah demokrasi elektoral Indonesia.
Selain dukungan kepada Prabowo Subianto dan Gatot Nurmantyo, partai politik juga perlu lebih berani melakukan eksperimen politik dan menawarkan kepada publik tokoh alternatif di luar kadernya yang kompetensinya terbukti.
Hasil survei Kompas terbaru menunjukkan, tingkat potensi keterpilihan tertinggi pada Jokowi sebesar 55,9 persen. Angka itu 14,1 persen untuk Prabowo dan 1,8 persen untuk Gatot. Tokoh lain berada di bawah 1 persen (Kompas, 24/4/2018).
”Parpol harus bisa membuka diri kepada hadirnya tokoh baru. Bukan hanya kadernya, melainkan juga kader dari luar. Ada banyak kaum profesional yang punya kapasitas dan rekam jejak yang baik, tetapi mereka belum pernah muncul,” kata Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo di Kantor Para Syndicate, Jakarta Selatan, Kamis (26/4/2018).
Parpol harus bisa membuka diri kepada hadirnya tokoh baru. Bukan hanya kadernya, melainkan juga kader dari luar. Ada banyak kaum profesional yang punya kapasitas dan rekam jejak yang baik, tetapi mereka belum pernah muncul.
Menurut dia, partai politik yang belum mengumumkan dukungannya sebaiknya mempersiapkan tokoh alternatif yang baru dan muda. Semakin banyak tokoh yang diajukan untuk maju pada Pilpres 2019, kontestasi demokrasi itu menjadi semakin sehat dan publik dapat menyaksikan calon pemimpinnya mengontes gagasan kepemimpinannya.
Lima partai politik yang telah mengumumkan dukungannya kepada Jokowi sebagai calon presiden Pemilu 2019 adalah Partai Golkar, PDI-P, PPP, PKPI, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.
Poros kedua, walaupun belum menyatakan keputusan yang pasti untuk maju menyaingi Jokowi, Prabowo didukung penuh partainya. Sementara itu, Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PKS belum mendeklarasikan dukungannya.
”Parpol sebaiknya jangan hanya mengajukan tokoh lama. Peluang tokoh baru dan muda itu terbuka karena separuh pemilih adalah orang muda. Mereka ingin kebaruan dan semangat dialogis. AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), misalnya, memiliki tingkat elektabilitas yang cukup tinggi dalam sejumlah survei ,” ujar Ari.
Cawapres
Tingkat elektabilitas tokoh yang berpotensi maju pada Pilpres 2019 yang dihasilkan sejumlah survei hingga kini tidak menentukan hasil pilpres ke depan. Dinamika politik masih sangat cair dan pemilihan cawapres menjadi salah satu faktor yang sangat memengaruhi tingkat elektabilitas itu.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan, keputusan mengenai cawapres itu akan dibahas setelah Pilkada 2018. Saat ini, partainya fokus memenangi pilkada.
”Agenda politik Partai Golkar sekarang adalah pemenangan Pilkada 2018. Tentu dengan pemenangan pilkada, akan meningkatkan elektabilitas. Pembicaraan dengan Pak Presiden dan pimpinan lain, terkait kepemimpinan nasional di luar pencalonan Pak Jokowi itu, akan dibahas setelah pilkada,” kata Airlangga.
Ia berencana bertemu dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar juga pimpinan partai politik lain dalam waktu dekat. ”Hubungan kami dengan pimpinan partai itu relatif cair,” ujar Airlangga. Ia kemungkinan akan bertemu dengan Muhaimin sesudah pekan depan.
Ditanyai apabila pertemuannya dengan Muhaimin bakal menandakan koalisi antara PKB dan partai-partai pendukung Jokowi, Airlangga menjawab, hal itu bergantung kepada Muhaimin. ”Artinya, bertanyalah kepada Cak Imin,” ucapnya.
Kemarin, Ketua DPP PDI-P Hendrawan mengatakan, cawapres yang akan mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019 masih terus dicari. Ia mengakui, figur lain yang memiliki kemampuan dan pengalaman seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla itu sulit ditemukan (Kompas, 26/4/2018).
Dalam survei Kompas, Kalla merupakan figur cawapres Pilpres 2019 dengan tingkat elektabilitas tertinggi sebesar 15,7 persen. Kalla diikuti dengan Prabowo (8,8 persen) lalu Gatot (5,3 persen) serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (4,8 persen).
Dalam survei Kompas, Kalla merupakan figur cawapres Pilpres 2019 dengan tingkat elektabilitas tertinggi sebesar 15,7 persen.
Ari menambahkan, figur cawapres itu harus mampu melengkapi capres dan menstabilkan situasi politik. ”Pada era kepresidenan Jokowi, stabilitas politik terganggu dengan bangkitnya politik identitas. Cawapres yang disiapkan harus mampu menstabilkan potensi konflik seperti itu,” katanya. (DD07)