Pengeboran Minyak Rakyat Perlu Diatur
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi mengenai pengeboran minyak yang dikelola warga perlu segera disusun. Belum adanya regulasi membuat pengeboran minyak ini menjadi ilegal.
Di sisi lain, perlu adanya pembimbingan terhadap masyarakat karena sumur minyak ilegal ini menjadi mata pencarian warga.
Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) Marzuki Daham mengatakan, regulasi perlu dibentuk untuk mengatur hajat warga yang menggantungkan hidup dari pengeboran ini. Saat ini hanya ada regulasi pengelolaan sumur tua sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008.
”Untuk pengeboran minyak belum ada regulasi yang mengaturnya. Warga biasanya mengebor minyak dan menciptakan sumur baru di lahan yang menurut mereka potensional,” katanya di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Wilayah Rantau Peureulak merupakan area pengelolaan Pertamina EP Aset I Rantau di Kuala Simpang. Marzuki menjelaskan, warga memanfaatkan wilayah ini untuk melakukan pengeboran minyak illegal di lahan yang tidak tergarap Pertamina EP.
”Lahan ini tidak digarap oleh perusahaan besar karena nilai komersialnya kecil sehingga dimanfaatkan oleh warga. Negara tidak rugi dari sisi komersial karena ada pengeboran liar ini, tetapi kerugian di sisi nyawa masyarakat dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Baca juga: Delapan Orang Tewas akibat Sumur Minyak Meledak
Menurut Marzuki, ada 500-1.000 jumlah sumur minyak ilegal di Aceh. Lokasi terbanyak berada di Rantau Peurueulak dan Bireuen. Marzuki mengatakan, seharusnya warga bisa dibimbing oleh pemerintah atau perusahaan untuk mengelola lahan yang tidak tergarap.
”Namun, karena tidak ada regulasi, kami belum turun tangan untuk membimbing mereka. Jika kami membimbing mereka, sama saja kami membimbing maling,” ujarnya.
Regulasi yang perlu disusun yaitu batas wilayah pengeboran minyak yang tidak boleh di dekat permukiman hingga pembimbingan para tenaga kerjanya. Marzuki menuturkan, regulasi ini harus setingkat peraturan menteri dan bisa disesuaikan oleh pemerintah daerah.
Marzuki menjelaskan, pemda serta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh belum mampu memberikan solusi terkait masalah tambang liar. ”Penegakan hukumnya sudah ada, tetapi belum optimal. Selain itu, belum ada solusi terkait mata pencarian pengganti warga,” ujarnya.
Regulasi yang perlu disusun yaitu batas wilayah pengeboran minyak yang tidak boleh di dekat permukiman hingga pembimbingan para tenaga kerjanya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Wargono Soenarko mengatakan, setiap pihak yang ingin melakukan pengeboran harus memiliki sertifikasi peralatan dan tenaga kerjanya.
”Badan Sertifikasi APMI menerbitkan surat kualifikasi dan kompetensi perusahaan (SKKP) sebagai syarat untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) dari Dirjen Migas Kementerian ESDM,” katanya.
Ketua Badan Sertifikasi APMI Budi Prakosa menjelaskan, pengeboran minyak harus melewati sejumlah tahapan yang ketat. ”Perusahaan harus mampu mengadakan peralatan yang memadai. Kemudian, ada tenaga ahli yang mampu mengoperasikan pengeboran. Mereka juga perlu punya back up finansial yang cukup besar karena pekerjaan pengeboran ini memiliki risiko tinggi,” ujarnya.
Wargono mengatakan, saat ini pemerintah menyederhanakan sejumlah peraturan menteri dan menghapus syarat SKT. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 14 tahun 2018 tentang kegiatan penunjang migas.
”Jika SKT ini dihapuskan, keselamatan kerja, khususnya di bidang pengeboran, menjadi terkendala. Pemerintah perlu memikirkan regulasi yang menjaga proses keselamatan kerja ini,” ujarnya.
Budi menambahkan, pengeboran minyak ilegal ini tidak memiliki SKKP dan SKT sehingga peralatan yang digunakannya sangat berisiko menimbulkan kecelakaan kerja. ”Jika regulasi terkait pengeboran minyak ilegal ini telah disusun, perusahaan besar juga diimbau dapat melakukan pembimbingan dengan menggunakan dana CSR,” katanya.
Korban bertambah
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, hingga hari ini, ada 21 korban tewas akibat ledakan sumur minyak di Kecamatan Rantau Peureulak, Aceh Timur. ”Selain itu, 38 korban luka dan lima rumah terbakar akibat kebakaran sumur minyak ilegal ini,” ujarnya.
Sutopo mengatakan, ada 198 jiwa mengungsi akibat insiden ini. Pada Kamis (26/4/2018) pukul 05.00, api sudah padam, tetapi gas dan campuran air masih terus keluar.
”Saat ini, Pemerintah Aceh telah memberikan bantuan kepada korban. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Aceh telah mengerahkan empat armada pemadam kebakaran dan dibantu personel TNI serta Polri,” ujarnya.