JAKARTA, KOMPAS — Pemberian hukuman yang keras menjadi faktor penting untuk menekan korupsi di Indonesia. Namun, langkah tersebut juga perlu diikuti dengan perbaikan sistem untuk menekan motivasi dan peluang melakukan korupsi.
Hukuman karena melakukan korupsi antara lain telah dijatuhkan kepada bekas Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar Setya Novanto. Karena dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), dia dihukum 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah di Ambon, Maluku, Rabu (25/4/2018), menyatakan, penegakan hukum dalam kasus KTP-el akan terus berlangsung dan tak akan berhenti pada Novanto. Pasalnya, selain Novanto, masih ada pihak lain yang juga diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Dugaan keterlibatan pihak lain ini tergambar dari besaran uang pengganti yang harus dikembalikan Novanto dalam perkara ini, yaitu 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dia kembalikan ke KPK. Padahal, berdasarkan dakwaan KPK, kerugian negara dalam perkara itu Rp 2,3 triliun.
Selain itu, guna mengantisipasi modus korupsi, seperti menggunakan tempat penukaran valas (money changer) untuk mengalirkan uang hasil korupsi KTP-el, KPK akan membahasnya dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
”Selama ini kami sudah berkoordinasi dengan BI dan OJK, tetapi belum sampai pada kesepakatan tertentu untuk mengantisipasi modus-modus korupsi lewat institusi keuangan. Atas dasar itu, kami akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan ketiga lembaga itu,” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Efek jera
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berpendapat, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kepada Novanto belum cukup menunjukkan adanya efek jera. Secara khusus, ia mencermati kewajiban Novanto untuk membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS, tidak sebanding dengan kerugian negara atas kasus itu yang mencapai Rp 2,3 triliun.
Aturan mengenai pembayaran uang pengganti tercantum dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam pasal itu diatur bahwa pembayaran uang pengganti maksimal sama dengan harta benda yang diperoleh dari kasus korupsi itu.
”Kalau ingin hukuman itu memberikan efek jera, terutama memiskinkan para koruptor, seharusnya aturan itu direvisi. Pembayaran uang pengganti harus disamakan dengan jumlah kerugian negara,” ujar Agustinus.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan, selain pendekatan penindakan, juga penting dilakukan upaya pencegahan dengan membangun sistem yang memperkecil peluang seseorang untuk korupsi.
Mu’ti juga menilai perlu semakin banyak lembaga di masyarakat yang punya kepedulian terhadap pengawasan pada potensi korupsi.
”Semakin sedikit lembaga yang peduli terhadap korupsi akan menimbulkan kesan korupsi itu sesuatu yang lumrah terjadi dan dianggap biasa,” katanya.
Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo, mengatakan, dalam berbagai kasus korupsi, ada kecurigaan bahwa korupsi dilakukan melalui transaksi tunai untuk mempersulit aparat penegak hukum melacak aliran dana. Selain itu, juga ada kecenderungan koruptor menyamarkan atau menyembunyikan uang hasil korupsi melalui berbagai transaksi keuangan tunai sehingga terlihat seolah sumbernya legal.
Terkait hal itu, pembatasan transaksi uang tunai, seperti yang digagas dalam Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Tunai, diyakini dapat menjadi salah satu cara meminimalisasi tindak pidana korupsi. Lewat RUU yang saat ini sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2018 ini, transaksi uang tunai dibatasi hingga Rp 100 juta kecuali untuk beberapa situasi yang akan diatur lebih rinci di RUU itu.
Pembatasan transaksi uang tunai, seperti yang digagas dalam Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Tunai, diyakini dapat menjadi salah satu cara meminimalisasi tindak pidana korupsi.
Melalui RUU tersebut, penyedia jasa keuangan seperti perbankan juga diwajibkan memperjelas identitas dan tujuan orang yang melakukan transaksi tunai di atas Rp 100 juta. Tanpa identitas jelas, transaksi tidak diperbolehkan. Penyedia jasa keuangan juga diharapkan dapat berkoordinasi dengan PPATK jika ada transaksi tunai yang mencurigakan.
RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2018 dan jadi RUU inisiatif pemerintah. Terkait hal itu, DPR tengah menunggu pemerintah menyiapkan draf dan naskah akademik sehingga pembahasan RUU itu bisa segera dimulai. ”RUU ini seharusnya dapat menekan angka korupsi sekaligus melancarkan transaksi perekonomian,” kata Bambang. (SAN/FRN/AGE/GAL)