Saling Memberdayakan dengan Layanan Perbankan Tanpa Kantor
Walaupun siang hari itu, Selasa (23/4), turun hujan rintik, Saloko seperti biasa membereskan sampah-sampah yang ada di lingkungan RW 7 dan 8 Kelurahan Petojo Selatan, Cideng, Jakarta Pusat. Dia tetap mengumpulkan sampah, lalu mendorong gerobaknya ke ujung gang.
Sejak pagi hari, Saloko mengumpulkan sampah dari rumah-rumah yang ada di kedua RW tersebut. Selain mendapatkan honor, warga terkadang juga memberikan tips kepada Saloko untuk sekadar membeli rokok.
Beberapa gerobak sampah sudah sampai di ujung gang Petojo Binatu I. Saloko dan rekan-rekannya terus mengumpulkan sampah dan menaikkan ke dalam sebuah truk sampah yang sudah menanti. Guyuran hujan rintik tidak dipedulikannya.
Bau sampah menguar di ujung gang. Sampah plastik, sampah rumah tangga, semua bercampur menjadi satu. Beberapa sampah tercecer. Satu hari ada dua truk sampah yang dikumpulkan dan diambil dari kedua RW tersebut.
Menjelang tengah hari, truk sampah kedua sudah selesai terisi. Sampah-sampah sudah diangkut ke tempat pembuangan sampah akhir. Gerobak-gerobak oranye pun dijejerkan rapi di pinggir gang. Selesai sudah tugas Saloko hari ini.
Saloko lalu berjalan menuju warung penjual alat tulis Surabaya Fotocopy. Letaknya persis di sebelah tempat pengumpulan sampah itu. Dia memberikan beberapa lembar uang ribuan kumal kepada Anik Kuswati, pemilik warung itu.
Anik lalu memencet-mencet telepon selularnya. “Sudah masuk ya,” kata Anik. Salaka pun berlalu. Dia tidak membeli apa pun dari warung Anik, walaupun menyerahkan beberapa lembar uang.
Menjelang sore, seusai menyiapkan makanan dan minuman untuk pelanggan warungnya, Juhriati yang sering disapa Titi menghitung uang yang didapatkan. Hari itu, walaupun mendung dan hujan rintik mengguyur Jakarta, dia dapat menjual banyak minuman hangat dan mi instan. Seharian mendung, membuat banyak orang ingin menghangatkan diri dengan secangkir kopi panas atau semangkok mi instan ditambah telur.
Titi membuka dompetnya sembari tersenyum, bersyukur atas rezeki yang didapatkan hari itu. Seperti biasa, setiap hari Titi menyisihkan sebagian uang yang didapatkan. Sebelum tutup warung, Titi melangkahkan kaki ke warung penjual alat tulis persis di sebelah warungnya.
Di warung penjual alat tulis Surabaya Fotocopy, Titi menyerahkan sebagian hasil jerih payahnya hari itu. Anik, pemilik Surabaya Fotocopy menerima beberapa lembar sepuluh ribuan dari Titi. Kembali, dia lalu memencet-mencet telepon selularnya.
Rumit
Saloko, Titi, dan Anik hanya tinggal sepelemparan batu dari bank sentral. Sayangnya, mereka belum juga tersentuh oleh perbankan. Hingga tahun 2017 tingkat inklusi atau akses orang terhadap layanan keuangan baru mencapai 69 persen.
Artinya baru ada 69 persen orang Indonesia yang dapat mengakses layanan keuangan seperti memiliki rekening tabungan di perbankan. Otoritas Jasa Keuangan menargetkan pada 2019, tingkat inklusi sudah naik menjadi 75 persen.
Memiliki rekening di perbankan memiliki banyak manfaat. Misalnya, ketika nasabah hendak meminjam dana ke bank, sudah ada rekam jejak yang dimiliki sehingga bank juga sudah mengenali nasabah. Sayangnya, bagi orang seperti Saloko dan Titi, melangkahkan kaki ke bank berat rasanya.
“Menabung di bank, rasanya dipersulit. Saya tidak punya KTP DKI dan oleh petugas bank diminta membuka rekening bank di kampung saja. Lagi pula, membuka tabungan di bank mahal. Uangnya juga harus banyak,” kata Saloko.
Saloko merasa lebih nyaman menyerahkan uangnya di warung Anik tetangganya, ketimbang di bank yang berkantor di gedung megah. Anik merupakan salah satu agen BTPN WOW, produk Bank Tabungan Pensiunan Nasional yang ditujukan untuk bagi mereka yang tidak terjangkau oleh perbankan. Tidak terjangkau karena berbagai alasan, tidak memiliki uang cukup untuk membuka rekening bank, ongkos ke bank yang mahal, tidak memenuhi persyaratan administratif untuk membuka tabungan di bank, sampai karena calon nasabah enggan dan sungkan masuk ke kantor bank yang mentereng.
Selain BTPN, beberapa bank lain seperti BRI, Bank Mandiri, dan BCA juga memiliki produk tabungan dasar yang memang ditujukan bagi para nasabah yang belum memiliki rekening perbankan dengan layanan tanpa kantor. Menabung di agen-agen seperti itu sangat mudah. Tidak perlu buku tabungan, tidak perlu kartu anjungan tunai mandiri, tidak ada biaya administrasi bulanan.
Kalau mau mengambil uang, tinggal pergi ke warung tempat nasabah menyimpan uangnya. Transfer dana pun dapat dilakukan, bahkan dengan nasabah yang tidak memiliki rekening. Nasabah mendapatkan notifikasi transaksi melalui telepon selularnya.
“Nabung di bank ribet. Saya menggunakan uang tabungan ini untuk berbagai keperluan, kalau ada keperluan dadakan atau bisa juga untuk tambah modal,” kata Titi yang membuka warung. Menyerahkan sebagian pendapatannya kepada Anik sudah menjadi ritual harian bagi Titi. Dalam satu hari, Titi dapat menabung sekitar Rp 50.000 hingga Rp 100.000.
Anik sudah tiga tahun menjadi agen. Saat ini nasabahnya sekitar 150 orang. Sebagian besar adalah tetangganya.
Sebagian lagi adalah konsumen warungnya. “Kalau ada yang fotokopi, seperti office boy dari kantor-kantor di sekitar warung juga saya ajak, saya tawari untuk menjadi nasabah. Syaratnya hanya salinan KTP dan memiliki nomor telepon,” jelas Anik. Anik menambahkan, setiap transaksi akan dikonfirmasi melalui pemberitahuan ke telepon selular nasabah.
Berapa pun uang yang disimpan akan diterima Anik dengan tangan terbuka. “Ada nasabah yang menyimpan uang kembalian sebesar Rp 3.000 juga saya terima,” kata Anik. Ada pula nasabahnya yang menabung hingga Rp 2 juta.
Menjadi agen juga memberikan penghasilan tambahan bagi Anik. Dalam satu bulan, dia bisa mendapatkan insetif dari transaksi simpanan, pembukaan rekening baru atau transfer sekitar Rp 500.000. Selain itu, jumlah pelanggan yang datang ke warungnya pun semakin bertambah.
Bagi Saloko, menyisihkan uang yang didapatnya sangat membatu untuk mengatur keuangannya. Menurut dia, uang yang dibawa pulang ke rumah pasti habis untuk membeli segala keperluan. Namun, dengan menyisihkan sebagian pendapatannya sebelum tiba di rumah, dia membelanjakan uang yang ada di tangan saja.
Ayah Saloko, Ucin yang juga petugas kebersihan di RW 7 dan 8 juga sempat menjadi nasabah paling aktif di warung Anik. Setiap hari, Ucin menabung Rp 5.000 atau Rp 10.000. Targetnya sederhana, memiliki uang sebesar Rp 300.000 pada akhir bulan untuk membayar cicilan motor. Saat ini, Ucin sudah tidak aktif lagi bekerja karena sakit keras. Simpanannya di warung Anik digunakan untuk membayar pengobatan.
Titi mengatakan, uang tabungannya dapat digunakan untuk mengatur modal di warung. Jika sedang memerlukan modal lebih besar, Titi tinggal menarik dana simpanannya. Perputaran modal di warungnya dapat diatur dengan simpanan yang ada di warung Anik.
Selain itu, Titi juga dapat menjadi penjual token listrik untuk tetangga lainnya. “Kalau tidak ketemu Bu Anik, saya tinggal mengirim pesan saja, nanti Bu Anik yang mengirim token listrik ke tetangga saya. Keesokan harinya, ketika buka warung, saya baru bayar ke Bu Anik,” ujar Titi.
Titi pun mendapatkan penghasilan tambahan dari berjualan token listrik ini. Selain memperoleh tambahan penghasilan, menjadi agen juga memberikan kebanggaan dan kebahagian bagi Anik.
Anik senang karena dapat membantu tetangganya untuk mengatur keuangan keluarga.”Menabung itu kan penting. Tetapi orang macam Saloko itu kan susah kalau mau ke kantor bank. Saya senang dapat membantu dia menabung,” kata perempuan paruh baya itu sambil tersenyum.
Menabung adalah kebutuhan setiap orang. Sayangnya masih banyak orang yang belum dapat mengakses layanan perbankan. Sehingga wacana menabung tinggal di angan-angan.
Tidak perlu menjadi besar dahulu untuk membantu orang lain. Dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, agen dan nasabah dapat saling memberdayakan.