Secuil Kisah ”Kompas” dalam Hidup Para Tokoh
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi masih ingat pengalaman pertamanya membaca harian Kompas. Saat memasuki usia remaja pada akhir dekade 1980-an, ia sudah akrab dengan media massa yang didirikan Jakob Oetama dan PK Ojong itu.
”Walaupun saya tinggal di kampung, saya membaca harian Kompas sejak masih kecil,” kata Imam seusai peresmian Menara Kompas di Jalan Palmerah Selatan Nomor 21, Jakarta Pusat, Kamis (26/4/2018). Imam yang lahir dan besar di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, itu sebelum kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, menempuh pendidikan magister di Universitas Padjajaran, Bandung, dan merantau ke Ibu Kota menjadi politisi.
Menurut Imam, sejak remaja hingga dewasa, baik sebagai siswa, mahasiswa, maupun politisi, harian Kompas selalu bisa memenuhi kebutuhannya atas informasi dan pengetahuan dalam berbagai bidang, bahkan turut memengaruhi sikap hidup Imam.
Manfaat yang saya rasakan sejak membaca harian Kompas adalah bisa berpikir obyektif.
”Manfaat yang saya rasakan sejak membaca harian Kompas adalah bisa berpikir obyektif,” ujar Imam. Ia menjelaskan, informasi dan perspektif yang dihadirkan menginspirasinya untuk tidak mengunggulkan salah satu kelompok di dalam masyarakat, bahkan kelompok tempat ia bernaung.
Selain itu, sebagai menteri yang telah menjabat lebih dari tiga tahun, harian Kompas juga menjadi referensi baginya dalam menentukan kebijakan. Menurut Imam, hal itu bukan hanya terjadi karena membaca tulisan, melainkan juga persahabatan dengan para wartawan.
”Saya banyak belajar, sekaligus diberi tahu, bagaimana mengatur pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan,” kata Imam.
Interaksi para tokoh dengan harian Kompas tidak sebatas mengambil banyak informasi, tetapi juga menjadi narasumber dan penulis. Sebagaimana dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Perkenalan Kalla dengan harian Kompas telah dimulai sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (sekarang Makassar), Sulawesi Selatan, terutama ketika ia menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ujung Pandang dan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada 1965.
Ide dan pendapat Kalla pertama kali muncul di harian Kompas pada 1975. Saat itu, sebagai distributor mobil di Ujung Pandang, ia mengatakan, dari 10 kendaraan yang mengikuti pengujian kir, rata-rata hanya dua yang lulus. Sisanya ditahan atau harus mengikuti uji kir ulang. Akibatnya, kendaraan tidak laik yang menjadi sumber kecelakaan memenuhi jalan di sana (Kompas, 11/12/1975).
Sejak saat itu, pendapat Kalla lebih sering lagi dikutip para wartawan. Mulai dari sebagai pengusaha, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar, Ketua Kamar Dagang dan Industri Sulawesi Selatan, anggota MPR Fraksi Utusan Daerah, Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Ketua Dewan Masjid Indonesia, serta sebagai wakil presiden.
Kalla merupakan tokoh yang sejak dulu vokal menuntut keadilan pemerintah dalam pembangunan di wilayah Indonesia timur. Beberapa ide yang ia sampaikan meliputi pengiriman insinyur baru ke pelosok, siaran televisi yang masuk ke desa-desa, tetapi diatur waktunya agar tidak mengganggu proses produktivitas petani; peningkatan satuan harga proyek infrastruktur yang saat itu disebut ”Proyek Inpres” agar jalan dan bangunan tidak cepat rusak. Selain itu, Kalla juga meminta pembebasan bea atas perdagangan beras antarpulau yang waktu itu diterapkan pemerintah; serta high cost economy yang disebabkan kelemahan manajemen dan inefisiensi sehingga membebani perekonomian (Kompas, 28/6/2015).
Wakil Presiden periode 2004-2009 dan 2014-2019 itu juga aktif menjadi kolumnis pada kolom Opini. Sejak 2013, tercatat ada enam artikel yang ia buat. Bahasannya pun luas, mulai dari ujian nasional, bahan bakar minyak, krisis ekonomi, kelompok radikal, hingga kesan mengenai harian Kompas.
Selain itu, ia juga sempat menjadi pemandu acara talk show di Kompas TV bertajuk Jalan Keluar. Pengalamannya itu mengesankan karena menjadi alternatif kegiatan saat ia tidak menjabat sebagai wakil presiden.
Memberi pilihan arah
Dalam pidatonya saat meresmikan Menara Kompas, Kalla mengapresiasi harian Kompas karena tulisan-tulisannya memberikan pilihan bagi setiap pembaca untuk mengambil keputusan di bidangnya masing-masing. Di samping itu, pembaca juga mampu memperkirakan konsekuensi dari pilihan yang diambil.
Saya berharap, Kompas tetap menjadi kompas, siapa pun yang menjadi pemimpinnya. Kompas itu bukan penunjuk arah, melainkan memberi tahu petunjuk di mana arah itu berada
”Saya berharap, Kompas tetap menjadi kompas, siapa pun yang menjadi pemimpinnya. Kompas itu bukan penunjuk arah, melainkan memberi tahu petunjuk di mana arah itu berada,” ujar Kalla.
Untuk itu, penting bagi sebuah media massa untuk menjaga prinsip obyektivitas. Menurut dia, dalam era digital, ketika bentuk media berubah, arus informasi semakin deras, kebutuhan utama dari sebuah berita adalah obyektivitas. Selain itu, masyarakat juga membutuhkan informasi yang mampu membangun persatuan bangsa.
Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan, kedekatan Kalla tidak hanya pada ranah gagasan, tetapi juga secara personal dengan Jakob Oetama. Selama menjadi Ajudan Wakil Presiden pada 2004-2009, ia menyaksikan persahabatan yang erat di antara kedua tokoh tersebut.
”Sebagai ajudan Pak Jusuf Kalla waktu itu, saya pun otomatis menjadi dekat dengan pendiri dan keluarga besar Kompas,” ujarnya.
Kehadiran harian Kompas selama 53 tahun memang memberikan cerita tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali para tokoh penting di negeri ini. Begitu juga pengusaha, mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Pelaksana Tugas Menteri Kehutanan, serta Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Chairul Tanjung. ”Saya sudah membaca harian Kompas sejak kecil. Semua informasi turut mewarnai jalan hidup saya dan masih terasa hingga saat ini,” katanya.