Bonita, Harimau Sumatera yang Kehilangan Habitat dan Menerkam Manusia di Riau
Oleh
Syahnan Rangkuti
·6 menit baca
Selama empat bulan terakhir, nama Bonita menjadi pembicaraan di mana-mana. Bonita ibarat artis seksi yang wajahnya kerap mengisi kolom-kolom media konvensional atau media sosial. Bonita yang dimaksud adalah seekor harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang berasal dari ekosistem Suaka Margasatwa Kerumutan, Riau.
Bonita merupakan sosok satwa cantik yang menakutkan. Dua anak manusia tewas diterkamnya. Korban pertama harimau anggun itu adalah Jumiati (33), pekerja riset perusahaan perkebunan PT Tabung Haji Indo Plantation yang sedang bekerja di areal Afdeling IV, Eboni Estate, pada suatu siang awal Januari 2018. Kebun kelapa sawit itu dulunya merupakan bagian dari ekosistem Kerumutan. Arealnya berada dalam wilayah Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir.
Mangsa kedua adalah Yusri Efendi (34), pekerja bangunan asal Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Kejadiannya berlangsung pada senja menjelang malam. Lokasi pemangsaan berada di wilayah kecamatan yang sama dengan kejadian pertama.
Ada kesamaaan dalam kasus pemangsaan itu. Baik Jumiati maupun Yusri diserang saat mereka tidak sendirian. Jumiati saat kejadian itu lagi bekerja bersama dua temannya, melakukan survei lapangan kelapa sawit.
Yusri pun sama. Sebelum diserang, buruh bangunan itu sedang bersama tiga temannya bekerja membangun rumah walet di Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran. Namun, berdasarkan cerita saksi mata, yaitu rekan Jumiati dan Yusri, Bonita ternyata hanya memilih kedua orang tersebut menjadi mangsa.
Mitos di balik serangan Bonita secara khusus kepada dua korbannya tersebut segera menyebar. Ada yang menyebutkan, kedua orang itu memiliki utang kepada Bonita. Yusri yang berprofesi sebagai tukang disebut-sebut kerap menjerat binatang, termasuk harimau di hutan. Jumiati bahkan diisukan pernah memelihara anak harimau yang diduga anak Bonita.
Intinya, Bonita membalas dendam. Bumbu cerita seperti itu tentunya sangat sulit untuk dibuktikan.
Dalam dunia hewan, seekor kucing besar sebenarnya sudah menggambar situasi sebelum menentukan mangsa yang akan diserangnya. Jadi, meskipun pada saat itu banyak mangsa tersedia, pemangsa sudah menentukan satu mangsa yang dianggap paling lemah di antara kawanannya.
Lihat saja berbagai tayangan National Geographic tentang kehidupan satwa pemangsa, seperti singa, cheetah, dan hyena, di Afrika. Hewan-hewan ini diyakini telah dilengkapi pendeteksi alamiah untuk menemukan dan menentukan mangsa terlemah di antara kerumunan. Alat itu adalah hasil sebuah evolusi hewan pemangsa sehingga mampu bertahan hidup di dunia yang keras ini.
Henry Fountain, kolumnis New York Times, pada November 2009 mengungkapkan temuan para ahli peneliti singa gunung di Colorado, Amerika Serikat, yang menyebutkan singa gunung ternyata cenderung memilih mangsa yang lemah dan sakit-sakitan. Banyak bangkai rusa yang menjadi mangsa singa gunung itu diteliti, memiliki penyakit-penyakit degeneratif yang membuatnya lemah dan lebih mudah dimangsa.
Sama seperti kucing besar lainnya, Bonita pun seperti itu. Sangat dimungkinkan, dari kacamata Bonita, Yusri dan Jumiati adalah mangsa terlemah dari kawan-kawannya. Bonita tetap mengincar Yusri dan Jumiati yang sudah dikunci dalam jangkauan radarnya meskipun ada orang lain di situ.
Namun, Bonita jelas merupakan sebuah perilaku menyimpang dalam dunia harimau. Bahkan, ada orang yang memberikan istilah sebagai harimau psikopat.
Sebagai harimau, Bonita adalah pemangsa luar biasa. Semua hewan mamalia ukuran sedang sampai besar adalah mangsanya. Bahkan, ia tidak takut kepada manusia yang dikenal sebagai penghuni puncak rantai makanan ekosistem dunia.
Di balik sifat buas alami sebagai pemangsa, Bonita juga memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi. Ia mampu hidup berdampingan dengan manusia pada siang hari dan tidak menghindar ketika bertemu. Padahal, harimau lain pasti akan menjauh sebelum bertemu manusia.
Bonita juga memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi. Ia mampu hidup berdampingan dengan manusia pada siang hari dan tidak menghindar ketika bertemu.
Juru bicara World Wildlife Fund (WWF) Riau, Syamsidar, mengungkapkan, sudah ratusan kali tim WWF meneliti harimau sumatera di hutan Riau selama 14 tahun terakhir, tetapi perjumpaan dengan raja hutan itu tidak sampai lima kali. Seluruh perjumpaan itu pun selalu dalam kondisi tidak sengaja. Pencarian dengan sengaja, misalnya mengikuti bekas tapak kaki baru, kotoran baru, atau bekas cakaran di pohon, seluruhnya gagal bertemu dengan harimau.
Adapun Bonita yang melakukan adaptasi semacam ”evolusi singkat” sudah merasa nyaman hidup berdampingan dengan manusia. Bonita tidak lari melihat mobil yang berjalan di dekatnya. Ia tidak merasa takut. Bonita jelas menganggap manusia bukanlah hewan yang mampu memangsa harimau sehingga harus ditakuti. Apalagi berburu mangsa di habitat manusia ternyata sangat mudah, tidak mengeluarkan tenaga ekstra dan dengan tingkat kegagalan relatif kecil.
Dengan sifatnya yang tidak mengenal takut kepada manusia, muncul pula mitos lain yang menyebutkan Bonita pernah dipelihara oleh manusia sewaktu kecil. Namun setelah dewasa, ia dikembalikan ke hutan.
Bonita jelas menganggap manusia bukanlah hewan yang mampu memangsa harimau sehingga harus ditakuti.
Hipotesis ini terbilang lemah. Di alam liar, kucing besar selalu berada di samping ibunya selama minimal dua tahun. Ibu harimau akan mengajarkan semua ilmu berburu kepada anak-anaknya, sampai mahir. Setelah lulus berburu, anaknya akan diusir untuk hidup sendiri.
Banyak bukti upaya pelepasliaran hewan buas yang dilakukan tim ahli ke alam liar gagal dilaksanakan. Padahal, segala macam cara dan upaya pengajaran berburu sudah dilakukan para ahli. Apalagi pelepasliaran hanya dilakukan warga biasa.
Untungnya, setelah lelah mencari dan mengubek-ubek habitat Bonita selama 113 hari, harimau itu berhasil ditangkap setelah ditembak bius oleh tim gabungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, yang dibantu warga masyarakat, serta anggota Polres dan Kodim Indragiri Hilir pada Jumat 20 April 2018. Kini, Bonita sudah menghuni rumah baru di pusat rehabilitasi harimau sumatera di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Sejumlah ahli perilaku harimau dari berbagai belahan dunia tertarik meneliti Bonita yang menunjukkan sikap adaptif terhadap manusia. Namun, ia akan mengaum keras sebagai reaksi kurang senang apabila sengaja diganggu pengurusnya. Hasil penelitian itu sangat layak untuk ditunggu.
Namun sayangnya, sampai saat ini belum terdengar ada wacana, ancang-ancang, rencana, atau langkah konkret untuk mencari penyebab mengapa Bonita memiliki perilaku menyimpang. Padahal, siapa pun tahu, Bonita berubah menjadi makhluk seperti sekarang ini akibat ulah manusia merusak habitat hutan Kerumutan yang menjadi rumah nenek moyangnya selama jutaan tahun.
Sampai saat ini belum terdengar ada wacana, ancang-ancang, rencana, atau langkah konkret untuk mencari penyebab mengapa Bonita memiliki perilaku menyimpang.
Puluhan ribu hektar ekosistem hutan Kerumutan telah dialihfungsikan secara legal menjadi perkebunan tanaman kelapa sawit. Namun, ribuan hektar lainnya, secara tidak legal, juga telah dirambah tangan-tangan jahil untuk membuka lahan kebun kelapa sawit. Pesona kelapa sawit belum akan berakhir selama bagian-bagian hutan Kerumutan belum habis.
Belum terdengar rencana aksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta unit pelaksana teknisnya di Riau untuk mencegah perambahan yang akan mengurangi areal bermain anak dan cucu Bonita.
Apabila tidak ada aksi nyata, percayalah, tidak usah menunggu lama, kelak akan muncul Bonita-Bonita lain yang akan semakin sering berinteraksi secara negatif dengan manusia di sekelilingnya. Tunggu saja.