Capaian pendidikan jauh dari harapan. Sejumlah kompetensi dasar yang seharusnya dikuasai siswa, masih rendah.
JAKARTA, KOMPAS -- Indonesia menghadapi masalah pendidikan yang bisa dikategorikan gawat darurat. Hal ini terlihat dari capaian akses, kualitas, dan kesenjangan pendidikan yang belum sesuai harapan, serta tertinggal dari negara lain. Meskipun demikian, situasi gawat darurat pendidikan Indonesia masih diatasi secara insidental jika terjadi kehebohan isu pendidikan sesaat.
Inisiator Semua Murid Semua Guru (SMSG) Najelaa Shihab dalam acara Ngobrol Pendidikan Menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 bertajuk Darurat Pendidikan Indonesia di Jakarta, Jumat (26/4/2018), mencontohkan, hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2015 menempatkan kemampuan literasi, sains, dan matematika yang rendah.
Demikian pula dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016, persentase pencapaian siswa yang kurang di bidang Matematika mencapai 77,13 persen siswa, di bidang sains 73,61 persen, serta membaca 46,83 persen.
Najelaa mencontohkan, dalam hal membaca, berkisar 47 persen siswa kelas 2 SD yang lancar membaca dan mampu memahami isi bacaan tersebut.
Mengenai hal ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno, pernah mengatakan, proses belajar di kelas harus terus ditingkatkan dan diubah agar siswa termotivasi dan senang belajar. (Kompas, 14/12/2017).
Dalam hal akses, ada sekitar 5 juta anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Mereka yang berada di sekolah mendapatkan pendidikan di ruang kelas yang belum mempersiapkan siswa mampu menghadapi tantangan kehidupan abad ke-21.
"Peningkatan kualitas belajar-mengajar masih sebatas pada upaya untuk pemenuhan tujuan yang terlalu rendah, yakni untuk meningkatkan nilai ujian atau lulus ujian. Kualitas yang disasar belum untuk pengembangan individu yang utuh untuk menjawab perkembangan jaman serta berkontribusi bagi negeri ini," kata Najelaa.
Menurut Najelaa, kegawatdaruratan pendidikan ini tak hanya terkait akademik. Ada juga soal kekerasan dalam dunia pendidikan yang memprihatinkan. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah yang minim dalam menganggarkan peningkatan kualitas guru, serta orangtua yang tidak paham pengasuhan anak yang baik dan melakukan kekerasan dalam pengasuhan.
Masyarakat berdaya
Najeela mengatakan, lewat SMSG, emansipasi masyarakat yang berdaya digalang. Semua pihak dapat berkotribusi dan bergerak bersama secara bermakna untuk bisa mengubah pendidikan yang lebih baik.
"Pendidikan harus dipahami lebih dari sekadar kegiatan bersekolah. Pendidikan merupakan proses kolaboratif antara anak, orangtua, pendidik, dan lingkungan sosialnya yang terjadi sepanjang hayat. Karena itu, semua pihak bisa terlibat. Inilah inti dari Semua Murid Semua Guru," kata Najelaa.
Sejumlah musisi, seperti Endah & Resha serta Tompi terlibat untuk mengkampanyekan SMSG. Mereka pun ingin ambil bagian untuk mengubah pendidikan Indonesia yang masih terpuruk.
"Beban pendidikan anak Indonesia terasa berat. Sebab, konsen pendidikan lebih pada kurikulum, bukan untuk mengembangkan potensi anak. kami peduli dengan masalah ini," ujar Tompi.
CEO dan Co-founder Kitabisa.com M Alfatih Timur mengatakan, masyarakat bisa mendukung pembagian flashdisk berisi video soal beragam profesi. Tujuannya untuk menginspirasi jutaan anak di Indonesia.