Menanti Kembalinya “Venesia dari Timur”
Venesia dari Timur”. Itulah sebutan yang pernah disematkan penjajah Belanda untuk Palembang, Sumatera Selatan. Sebutan itu muncul karena adanya Sungai Musi berikut kanal-kanal dan kehidupan di tepi sungai itu.
Di Dermaga Pasar 16 Ilir, Palembang, kehidupan ”Venesia dari Timur” ini mendapat gambarannya pada pertengahan April lalu. Deretan perahu jukung mengantre mencari penumpang di dermaga di bawah Jembatan Ampera tersebut.
JI Van Sevenhoven, Komisaris Pemerintah Batavia di Palembang, tahun 1821, dalam catatannya berjudul ”Lukisan tentang Ibu Kota Palembang” menulis, rakit-rakit yang dihuni orang-orang China serta perahu-perahu cepat yang mengantar pejabat tinggi Eropa ataupun pembesar dan pangeran turunan Raja lalu-lalang di Musi.
Kota Palembang sebagai pusat Kesultanan Palembang Darussalam, saat itu digerakkan oleh kanal-kanal yang bermuara ke Musi. Tepian Sungai Musi, yang panjang seluruhnya 750 kilometer tersebut, tak hanya menjadi tempat tinggal.
Melalui sungai tersebut, berbagai komoditas dipertukarkan. Mulai dari sutra, benang emas, rotan, damar, lilin, kayu laika, lada, kopi, pinang, tembakau, kerajinan rotan dan jerami, serta kain.
Menurut Sevenhoven, warga Palembang adalah kelompok orang yang cerdas, terampil membuat kerajinan, sangat piawai dalam detail-detail, pandai berkata-kata, tetapi sayangnya suka beperkara, dan tidak cukup banyak memiliki sastrawan.
Para wanitanya terampil menyulam, dan mereka yang berasal dari kalangan bangsawan, jika menikah dengan lelaki dari kalangan jelata, suaminya itu akan berbicara dalam bahasa Jawa Krama Inggil kepada istrinya.
Sevenhoven menduga, pengaruh Jawa itu terjadi sejak era Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7. Pendiri kerajaan itu masih keturunan Wangsa Sailendra dari Pulau Jawa.
Beragam pengaruh
Sejarawan Palembang, Yudi Syarofie mencatat, sebelum tahun 1659, orang Palembang masih berbicara dengan bahasa Jawa. Meski pengaruh Jawa sedikit demi sedikit luntur, dalam bahasa Palembang halus saat ini dikenal kosakata mirip bahasa Jawa, seperti wenten napi? (ada apa) yang dekat pengucapannya dengan wonten punopo (Jawa) yang memiliki arti serupa. Ada juga enggeh (iya), yang dekat dengan inggih (Jawa), atau sampun nedoh (sudah makan) yang dekat dengan sampun nedo (Jawa).
Akan tetapi, orang Palembang tak hanya dipengaruhi budaya Jawa. Budaya dari China dan Arab juag ditemukan di Palembang. Ini terjadi karena dalam perdagangan samudra, orang China dan Arab sering bersandar di Musi dan berinteraksi dengan warga setempat.
Kampung Arab Al-Munawar, di kawasan 13 Ulu, yang diperkirakan ada sejak abad ke-17, menjadi petilasan penting jejak orang Arab di Palembang. Di kawasan itu, ada delapan rumah panjang beratap limas dengan beberapa di antaranya masih menggunakan panggung di bagian depannya. Kini, Kampung Arab itu dihuni oleh sekitar 350 orang keturunan Arab.
”Leluhur kami datang dari Yaman untuk berdagang dan syiar agama,” kata Muhammad Al Munawar (57), penanggung jawab kompleks wisata Kampung Arab. Leluhurnya, Abdurrahman Al Munawar, bahkan diminta menjadi guru agama oleh Sultan Palembang.
Sekitar 30 menit perjalanan dengan menggunakan ketek (perahu motor) dari Kampung Arab, ada Pulau Kemaro. Di pulau itu, ada bangunan kelenteng dan sebuah pagoda bertingkat 9. Tempat ibadah Khonghucu dan Buddha itu dibangun tahun 1962.
Pulau Kemoro yang adalah sebuah delta kecil itu menggambarkan peran penting komunitas China dalam perang Sungai Musi. ”Pada 1819, ketika terjadi Perang Palembang, Pulau Kemaro menjadi benteng terakhir pertahanan Kesultanan Palembang melawan Belanda.
Belanda yang dipimpin Komisaris Herman Muntinghe dipukul mundur karena tidak mampu menembus keraton Palembang yang lokasinya tidak jauh dari Pulau Kemaro. Dari Pulau Kemaro dikirimkan rakit-rakit api, yang membakar armada kapal Belanda. Selanjutnya, Belanda diserang dengan meriam dari Pulau Kemaro,” kata Yudi.
Kemas Andi Syarifuddin, ulama dan juga sejarawan Palembang, mengatakan, rakit-rakit api yang menjadi senjata Kesultanan Palembang itu dibuat oleh orang-orang China atas perintah Sultan Muhammad Baddaruddin II, sultan Palembang saat itu. ”Orang-orang China diminta membuat musuh kalang kabut dengan serangan rakit-rakit api dari Pulau Kemaro,” katanya.
Politik sungai
Kemenangan melawan Belanda dalam perang Sungai Musi menunjukkan ketahanan Kesultanan Palembang Darussalam bergantung pada penguasaan sungai. Ratusan kanal dan anak sungai yang mengitari serta ada di wilayah Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pertahanan yang efektif. Saat itu, Keraton Kesultanan Palembang juga ada di tepi sungai.
”Penguasaan perairan dan sungai sangat penting untuk menjaga kekuatan politik. Pasalnya, ketika sungai dikuasai musuh, maka sumber daya dirampas, perekonomian dikuasai, dan ketahanan wilayah hancur. Musuh bisa masuk melalui sungai dan menguasai wilayah-wilayah kerajaan,” urai Yudi.
Sayangnya, kini banyak kanal dan anak Sungai Musi yang hilang karena diuruk. Jika masih ada kanal yang berfungsi, kondisinya kian menyempit dan dipenuhi sampah. Pengurukan sejumlah kanal ini dimulai sejak zaman kolonial dan diteruskan hingga kini. Sungai Tengkuruk, misalnya, diuruk Belanda, dan kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman. Sementara Sungai Kapuran kini menjadi Jalan Merdeka.
Padahal, hingga saat ini, masih banyak warga yang bergantung pada perairan. Warga Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, banyak memanfaatkan transportasi sungai untuk pergi ke Palembang. Hasil bumi seperti padi dan jagung dari kawasan transmigrasi di Musi Banyuasin juga banyak yang dibawa ke Palembang dengan memakai perahu.
”Jika naik bus atau travel, jalannya rusak dan bisa menginap sehari semalam di hutan (perkebunan kelapa sawit). Tetapi jika naik speed (perahu cepat), cuma sekitar 2 jam,” kata Ni’mah (48), warga transmigran dari Musi Banyuasin.
Kekuatan Sungai Musi sebagai pusat perdagangan, ekonomi, sekaligus sentra kebudayaan manusia Sumsel idealnya menjadi peluang dan tantangan para calon kepala daerah yang berkontestasi di Pilkada 2018.
Mereka yang bisa mengoptimalkan Musi sebagai kekuatan ekonomi dan politik wilayah, akan dikenang sebagai pemimpin yang bisa menjawab tantangan zaman, sekaligus menghadirkan Sumsel sebagai pewaris kekuatan bahari di Nusantara.