Rangkap Kepengurusan IDI dan KKI Melanggar Konstitusi
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rangkap kepengurusan antara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bertentangan denga Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian salah satu butir amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara permohonan uji materi terhadap sebagian pasal pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Amar putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Anwar menyatakan, pengisian anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) harus mempertimbangkan tugas KKI yang bisa bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai salah satu organisasi asal anggota KKI terkait erat dengan tugas-tugas KKI karena dokter yang merupakan anggota IDI merupakan obyek regulasi dari KKI.
Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI. Pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat KKI.
Permohonan uji materi UU Praktik Kedokteran tersebut diajukan oleh 31 dokter dari berbagai institusi pendidikan kedokteran. Sebanyak tujuh orang di antaranya adalah guru besar.
Tiga hal
Ada tiga hal yang menjadi pokok permohonan para pemohon, yakni terkait sertifikat kompetensi, organisasi profesi, dan rangkap jabatan pengurus IDI dan KKI. Dari tiga pokok permohonan itu, hanya permohonan tentang rangkap jabatan yang dikabulkan MK.
Pemohon menilai sertifikat kompetensi seharusnya tidak diberlakukan untuk lulusan baru fakultas kedokteran dan uji kompetensi haruslah diselenggarakan oleh satuan pendidik terakreditasi dan berbentuk badan hukum pendidikan.
Setiap lulusan fakultas kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter). Dengan demikian, tidak perlu lagi mendapat sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI.
Terkait organisasi profesi, pemohon meminta agar organisasi profesi sesuai UU Praktik Kedokteran tidak semata-mata IDI, perhimpunan dokter spesialis yang berada dalam lingkungan IDI pun agar dimaknai sebagai organisasi profesi untuk menjamin kebebasan hak atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Seusai sidang, Ketua Umum PB IDI Prof Ilham Oetama Marsis, mengatakan, IDI tetap menjadi satu-satunya organisasi profesi dokter yang diakui dan kolegium tetap bernaung di bawah IDI sebagai rumah besarnya.
Saat ini, Marsis masih tercatat sebagai anggota Divisi Registrasi Konsil Kedokteran. Menurut Marsis, putusan MK tentang rangkap jabatan baru diputuskan kemarin Kamis (26/4/2018) dan baru akan berlaku setelahnya. Putusan itu tidak berlaku untuk rangkap jabatan kepengurusan IDI dan KKI yang sekarang.
“Secara organisasi kami tidak ada masalah dengan putusan ini sepanjang unsur IDI masih ada di KKI. Hal yang tidak boleh adalah, pengurus IDI juga menjadi anggota KKI,” kata Sekretaris Umum PB IDI, Adib Khumaidi.
Secara organisasi kami tidak ada masalah dengan putusan ini sepanjang unsur IDI masih ada di KKI.
Adapun Marsis sendiri akan menempuh jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyusul munculnya surat pemberhentian dirinya dari anggota KKI oleh presiden sebulan yang lalu. “Dalam PTUN akan dibicarakan substansi apakah pemberhentian itu sah atau tidak. Kami berharap di PTUN pun menang,” ujarnya.
Sementara itu, salah seorang pemohon, Judilherry Justam, mengatakan, sebenarnya amar putusan MK mengandung tiga peringatan kepada PB IDI. Pertama, kepemimpinan IDI yang terdiri PB IDI, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) harus berjalan independen.
Padahal, menurut Judilherry, berdasarkan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga IDI, lembaga MPPK, MKEK, dan MKKI memberikan laporan kepada PB IDI, bukan kepada muktamar sebagai pengambilan keputusan tertinggi.
Kedua, penyelenggaraan resertifikasi harus berjalan transparan dan akuntabel. Ketiga, organisasi profesi kedokteran tidak bisa dibiarkan hanya menjadi self-regulating body. Namun, aspek kontrol dari masyarakat dalam sistem bernegara turut andil dalam mewujudkan pengaturan profesi kedokteran yang lebih menjamin upaya peningkatan derajat ksejahteraan warga negara.