Halimah lalu mengajak ibu Fatahillah, Murniati (37), untuk mencari ke kedai, siapa tahu Fatahillah sedang bermain bersama teman-temannya. Di kedai juga tak ada Fatahillah. Setelah bertanya kepada warga lain, ternyata sang cucu pergi melihat tumpahan minyak mentah di Desa Pasir Putih, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Halimah tinggal di Desa Bhom Lama. Desa ini bertetangga dengan Desa Pasir Putih. Halimah dan Murniati lalu berjalan kaki ke lokasi pengeboran minyak, jaraknya hanya 500 meter. Sampai di sana dia melihat banyak orang berada di lokasi pengeboran minyak ilegal itu. Ada sebagian sedang mengambil minyak dan memasukkan ke jeriken kecil.
Tumpahan minyak mentah dari sumur bor ilegal itu menyembur hingga menggenangi permukiman warga. Ketinggian genangan minyak mencapai 10 sentimeter.
Dalam gelap malam, Halimah memanggil nama cucunya. Namun, Fatahillah tak juga muncul. Dia melihat tumpahan minyak di tanah dan terus berjalan dalam tumpahan minyak mencari cucunya.
Tiba-tiba saja api menyala dari ujung genangan dan dalam sekejap api sudah sampai di hadapan Halimah. Api langsung menyambar tubuh tuanya. Dalam gelap malam Halimah berusaha keluar dari kepungan api. ”Saya masuk ke kolam, baru apinya padam,” kata Halimah saat ditemui di Rumah Sakit Daerah Zubir Mahmud, Aceh Timur, Kamis (26/4). Halimah mengalami luka bakar hingga 60 persen. Dia menjalani perawatan intensif.
Anaknya, Murniati, dan cucunya, Fatahillah, juga tak luput dari amukan api. Keduanya ditemukan terbaring dengan luka bakar di bekas genangan minyak. Keduanya kini menjalani perawatan di RSU dr Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Hingga Kamis malam, kebakaran itu menewaskan 22 orang dan 37 orang luka bakar parah. Direktur RSUD dr Zubir Mahmud Aceh Timur dr Edi Gunawan mengatakan, luka bakar yang dialami para korban mencapai 70 persen. Beberapa korban tidak tertolong karena mengalami kerusakan pada organ dalam setelah menghirup asap panas.
Banyaknya korban dan luka bakar yang parah bahkan membuat rumah sakit di Aceh Timur dan Kota Langsa tak memadai untuk merawat korban. Hingga Kamis sore, sudah tiga korban dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, Sumatera Utara. Dua di antaranya meninggal, yaitu Muhammad Rafi (39) dan Zainal Abidin (36). Seorang lagi, Heri Herliza (19), masih kritis dengan luka bakar 80 persen.
Gantungan hidup
Pengeboran minyak telah menjadi gantungan hidup masyarakat di Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, selama bertahun-tahun. Pengeboran dan pengolahan minyak dilakukan tanpa standar keselamatan apa pun. Sumur juga menyebar di mana-mana hingga di dalam rumah warga.
Julia (40), istri Zainal, menyatakan, keluarga mereka sangat terpukul karena peristiwa itu. Zainal, sebagaimana keluarga lain di desanya, dalam lima tahun terakhir juga menggantungkan hidup pada pengeboran minyak ilegal itu. ”Kami punya enam orang anak. Saya tidak tahu lagi nanti harus bagaimana,” kata Julia.
Menjadi pekerja di pengeboran minyak ilegal, menurut Julia, menjadi pilihan bagi suaminya di tengah sulitnya mencari pekerjaan lain. Suaminya biasanya bekerja pada malam, mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00 besok harinya. Mereka mengebor di sejumlah tempat secara acak hingga mendapatkan sumber minyak. ”Kadang berhari-hari tidak mendapat upah karena tidak ada minyak yang ditemukan. Suami saya mendapat upah bagi hasil kalau mereka mendapat minyak,” katanya.
Julia tidak mengetahui apakah pengolahan sumur itu ilegal atau tidak. Zainal hanya pekerja yang bertugas membantu mengebor sumur minyak itu. Proses pengeborannya dengan alat sederhana, seperti mengebor sumur bor untuk mendapatkan air. Namun, pengeboran untuk sumur minyak jauh lebih dalam. Selain untuk pekerja, hasil minyak dibagi untuk pemilik peralatan dan pemilik lahan.
Ery Asrianda (30), warga Peureulak, mengatakan, pengeboran sumur minyak secara ilegal sudah semacam rahasia umum di Peureulak. Sumur-sumur bor terdapat di mana-mana, mulai dari permukiman, perkebunan, hingga ke perbukitan. ”Sampai lantai rumah pun dibor untuk mendapat minyak,” kata Ery. Harga minyak yang belum diolah berkisar Rp 500.000-Rp 700.000 per drum.
Ada juga warga yang mengolah dulu minyak sebelum dijual. ”Pengolahannya juga sangat tradisional. Minyak dimasukkan ke drum lalu dimasak dengan kayu bakar. Tiga tahun lalu pernah minyak meledak saat dimasak dalam drum, menewaskan empat pekerjanya,” ujarnya.
Ery mengatakan, warga menjual minyak itu kepada penampung. Sebagian besar dikirim ke Sumatera Utara. Minyak itu digunakan untuk bahan pembuatan aspal atau bahan bakar minyak untuk pabrik-pabrik kecil.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Teuku Ahmad Dadek mengatakan, para korban umumnya warga yang menyaksikan dan mengambil tumpahan minyak. Api belum diketahui dari mana sumbernya.
Wakil Bupati Aceh Timur Syahrul bin Syamaun mengingatkan kasus meledaknya sumur minyak ilegal itu menjadi pelajaran berharga. Tidak ada uang yang senilai dengan nyawa.